Beberapa hari kemudian, di depan gedung Kwik Kian Gie School of Business, seorang anak kecil meletakkan bunga. Ia tak tahu banyak tentang Kwik. Ia hanya tahu dari ayahnya: "Beliau adalah orang yang selalu berpihak pada yang lemah."
Angin berhembus. Bunga itu bergoyang pelan.
Dan di suatu tempat, mungkin, suara itu masih ada, bukan dalam bentuk kata-kata, tapi dalam hati mereka yang pernah membaca, pernah mendengar, pernah merasa: ada yang masih peduli.
Bangsa ini kehilangan lebih dari sekadar seorang ekonom.
Kita kehilangan suara yang tak pernah diam.
Suara yang tak butuh sorotan, tapi selalu hadir saat kebenaran dipertaruhkan.
Kita kehilangan Kwik.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya, kita benar-benar merasa:
Siapa yang akan bicara untuk rakyat jika semua yang berani telah tiada?
Tapi harapan masih ada.
Karena selama masih ada yang membaca tulisannya,
masih ada yang mengingat keteguhannya,
masih ada yang menolak kompromi demi kebenaran,
maka Kwik belum benar-benar pergi.
Ia hanya sedang menunggu kita,
untuk meneruskan suaranya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI