Kwik dan Akhir dari Sebuah Suara
Di sebuah ruang rawat rumah sakit di Jakarta, jendela terbuka perlahan ditiup angin malam. Hujan baru saja reda. Di luar, kota masih menyala, lampu-lampu gedung tinggi, suara kendaraan yang tak pernah benar-benar diam. Tapi di dalam kamar itu, segalanya perlahan melambat.
Di ranjang, seorang pria tua berbaring. Napasnya ringan, seperti daun yang jatuh pelan dari pohon tua. Ia tak banyak bicara lagi. Tapi matanya masih terbuka, memandang langit-langit, seolah sedang mengingat sesuatu yang jauh.
Namanya Kwik.
Bukan karena nama lengkapnya tak penting. Tapi bagi rakyat, ia sudah cukup dikenal dengan satu kata itu: Kwik. Bukan sebagai tokoh besar yang selalu tampil di televisi, bukan sebagai menteri yang suka berpidato panjang. Ia adalah suara yang muncul di kolom opini, di ruang kuliah, di diskusi-diskusi kecil di warung kopi, suara yang tak pernah berhenti bertanya: Apa benar ini yang terbaik untuk rakyat?
Di masa muda, Kwik belajar ekonomi di Belanda. Ia pintar, rajin, dan punya mata yang tajam melihat ketidakadilan. Saat pulang ke tanah air, ia bukan datang dengan mimpi menjadi kaya atau berkuasa. Ia datang dengan pertanyaan: Mengapa negeri yang kaya raya ini, rakyatnya justru miskin?
Ia menulis. Di Kompas. Di jurnal-jurnal. Di buku-bukunya yang tak laku keras, tapi dibaca oleh mereka yang masih percaya bahwa akal sehat harus diperjuangkan. Ia menolak utang luar negeri yang katanya "solusi", tapi justru mengikat negeri ini dalam jerat yang tak terlihat. Ia mengkritik IMF bukan karena benci asing, tapi karena ia melihat bagaimana kebijakan-kebijakan itu membuat petani tak bisa menjual gabahnya, nelayan tak bisa melaut, dan pedagang kecil tergusur oleh perusahaan raksasa.
"Saya bukan anti-investasi," katanya suatu kali. "Saya hanya anti pada ketidakadilan yang disebut pembangunan."
Di masa Orde Baru, bicara seperti itu bisa berbahaya. Tapi Kwik tetap menulis. Ia tak pernah menghardik. Ia bicara pelan, tenang, seperti bapak yang sedang menjelaskan sesuatu pada anaknya. Tapi setiap kalimatnya menusuk, karena jujur.
Lalu datang Reformasi. Ia dipanggil menjadi menteri. Banyak yang mengira ia akan berubah. Tapi tidak. Ia tetap Kwik. Ia tetap mempertanyakan kebijakan privatisasi BUMN yang didorong IMF. Ia tetap menolak paket bantuan internasional yang mensyaratkan rakyat kecil harus dibebani lebih. Ia bahkan pernah mengundurkan diri, bukan karena marah, tapi karena tak bisa diam.
"Jabatan itu alat," katanya. "Bukan tujuan."
Saat usianya mulai menua, ia tak memilih hidup tenang di rumah mewah. Ia malah mendirikan sekolah. Bukan sekolah bisnis biasa. Di sana, mahasiswanya tak hanya belajar akuntansi atau manajemen. Mereka belajar tentang tanggung jawab. Mereka diajarkan bahwa keberhasilan bukan diukur dari laba, tapi dari seberapa banyak orang yang bisa diangkat dari kemiskinan.
"Jangan jadi ekonom yang hanya menghitung angka," katanya pada para mahasiswa baru. "Jadilah manusia yang memahami penderitaan."
Malam itu, di kamar rumah sakit, Kwik menarik napas terakhir. Pukul 22.00 WIB. Tak ada sorak-sorai, tak ada penghormatan resmi. Hanya perawat yang menutup matanya, dan seorang dokter yang mencatat waktu kematian.
Tapi di luar, sesuatu terasa berubah.
Di warung kopi di Yogyakarta, seorang mahasiswa ekonomi berhenti membaca. Ia baru saja membaca tulisan Kwik tentang utang negara. Ia menunduk. "Pak Kwik sudah pergi," katanya pelan. Temannya mengangguk. Tak ada yang bicara. Hanya suara angin yang sedikit kencang dengan sedikit titik-titik air yang belum menjadi rintikan.
Di Jakarta, seorang jurnalis tua menulis draft obituari. Ia mengetik, lalu berhenti. Ia menatap layar. "Dulu, kalau saya ragu, saya tinggal membaca tulisan Kwik. Sekarang... siapa yang akan mengingatkan kita?"
Di kantor-kantor pemerintahan, beberapa pejabat mendengar kabar itu. Ada yang mengangguk, ada yang diam. Tapi tak ada yang langsung mengeluarkan pernyataan. Mungkin karena mereka tahu, mereka sering berseberangan dengan Kwik. Tapi malam itu, salah seorang dari mereka menutup dokumen kebijakan, menatap jendela, dan berbisik: Kita kehilangan orang yang tak pernah takut mengatakan yang sebenarnya.
Besoknya, berita kematian Kwik tersebar. Media memberi headline. Tokoh-tokoh menyampaikan belasungkawa. Tapi yang paling terasa bukan duka, melainkan kehampaan.
Seolah, suara yang selalu menjadi penyeimbang (suara yang mengingatkan kita bahwa negara ini bukan milik segelintir orang dan sedang tidak baik-baik saja) telah benar-benar hilang.
Sandiaga Uno menyebutnya "mentor kebenaran". Hendrawan Supratikno menyebutnya "ekonom berintegritas". Tapi bagi rakyat kecil, Kwik adalah sesuatu yang lebih sederhana: penjaga akal sehat.
Beberapa hari kemudian, di depan gedung Kwik Kian Gie School of Business, seorang anak kecil meletakkan bunga. Ia tak tahu banyak tentang Kwik. Ia hanya tahu dari ayahnya: "Beliau adalah orang yang selalu berpihak pada yang lemah."
Angin berhembus. Bunga itu bergoyang pelan.
Dan di suatu tempat, mungkin, suara itu masih ada, bukan dalam bentuk kata-kata, tapi dalam hati mereka yang pernah membaca, pernah mendengar, pernah merasa: ada yang masih peduli.
Bangsa ini kehilangan lebih dari sekadar seorang ekonom.
Kita kehilangan suara yang tak pernah diam.
Suara yang tak butuh sorotan, tapi selalu hadir saat kebenaran dipertaruhkan.
Kita kehilangan Kwik.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya, kita benar-benar merasa:
Siapa yang akan bicara untuk rakyat jika semua yang berani telah tiada?
Tapi harapan masih ada.
Karena selama masih ada yang membaca tulisannya,
masih ada yang mengingat keteguhannya,
masih ada yang menolak kompromi demi kebenaran,
maka Kwik belum benar-benar pergi.
Ia hanya sedang menunggu kita,
untuk meneruskan suaranya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI