Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

[cerpenpolitik] Kwik dan Akhir dari Sebuah Suara

29 Juli 2025   19:34 Diperbarui: 29 Juli 2025   19:34 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jabatan itu alat," katanya. "Bukan tujuan."

Saat usianya mulai menua, ia tak memilih hidup tenang di rumah mewah. Ia malah mendirikan sekolah. Bukan sekolah bisnis biasa. Di sana, mahasiswanya tak hanya belajar akuntansi atau manajemen. Mereka belajar tentang tanggung jawab. Mereka diajarkan bahwa keberhasilan bukan diukur dari laba, tapi dari seberapa banyak orang yang bisa diangkat dari kemiskinan.

"Jangan jadi ekonom yang hanya menghitung angka," katanya pada para mahasiswa baru. "Jadilah manusia yang memahami penderitaan."

Malam itu, di kamar rumah sakit, Kwik menarik napas terakhir. Pukul 22.00 WIB. Tak ada sorak-sorai, tak ada penghormatan resmi. Hanya perawat yang menutup matanya, dan seorang dokter yang mencatat waktu kematian.

Tapi di luar, sesuatu terasa berubah.

Di warung kopi di Yogyakarta, seorang mahasiswa ekonomi berhenti membaca. Ia baru saja membaca tulisan Kwik tentang utang negara. Ia menunduk. "Pak Kwik sudah pergi," katanya pelan. Temannya mengangguk. Tak ada yang bicara. Hanya suara angin yang sedikit kencang dengan sedikit titik-titik air yang belum menjadi rintikan.

Di Jakarta, seorang jurnalis tua menulis draft obituari. Ia mengetik, lalu berhenti. Ia menatap layar. "Dulu, kalau saya ragu, saya tinggal membaca tulisan Kwik. Sekarang... siapa yang akan mengingatkan kita?"

Di kantor-kantor pemerintahan, beberapa pejabat mendengar kabar itu. Ada yang mengangguk, ada yang diam. Tapi tak ada yang langsung mengeluarkan pernyataan. Mungkin karena mereka tahu, mereka sering berseberangan dengan Kwik. Tapi malam itu, salah seorang dari mereka menutup dokumen kebijakan, menatap jendela, dan berbisik: Kita kehilangan orang yang tak pernah takut mengatakan yang sebenarnya.

Besoknya, berita kematian Kwik tersebar. Media memberi headline. Tokoh-tokoh menyampaikan belasungkawa. Tapi yang paling terasa bukan duka, melainkan kehampaan.

Seolah, suara yang selalu menjadi penyeimbang (suara yang mengingatkan kita bahwa negara ini bukan milik segelintir orang dan sedang tidak baik-baik saja) telah benar-benar hilang.

Sandiaga Uno menyebutnya "mentor kebenaran". Hendrawan Supratikno menyebutnya "ekonom berintegritas". Tapi bagi rakyat kecil, Kwik adalah sesuatu yang lebih sederhana: penjaga akal sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun