"Jabatan itu alat," katanya. "Bukan tujuan."
Saat usianya mulai menua, ia tak memilih hidup tenang di rumah mewah. Ia malah mendirikan sekolah. Bukan sekolah bisnis biasa. Di sana, mahasiswanya tak hanya belajar akuntansi atau manajemen. Mereka belajar tentang tanggung jawab. Mereka diajarkan bahwa keberhasilan bukan diukur dari laba, tapi dari seberapa banyak orang yang bisa diangkat dari kemiskinan.
"Jangan jadi ekonom yang hanya menghitung angka," katanya pada para mahasiswa baru. "Jadilah manusia yang memahami penderitaan."
Malam itu, di kamar rumah sakit, Kwik menarik napas terakhir. Pukul 22.00 WIB. Tak ada sorak-sorai, tak ada penghormatan resmi. Hanya perawat yang menutup matanya, dan seorang dokter yang mencatat waktu kematian.
Tapi di luar, sesuatu terasa berubah.
Di warung kopi di Yogyakarta, seorang mahasiswa ekonomi berhenti membaca. Ia baru saja membaca tulisan Kwik tentang utang negara. Ia menunduk. "Pak Kwik sudah pergi," katanya pelan. Temannya mengangguk. Tak ada yang bicara. Hanya suara angin yang sedikit kencang dengan sedikit titik-titik air yang belum menjadi rintikan.
Di Jakarta, seorang jurnalis tua menulis draft obituari. Ia mengetik, lalu berhenti. Ia menatap layar. "Dulu, kalau saya ragu, saya tinggal membaca tulisan Kwik. Sekarang... siapa yang akan mengingatkan kita?"
Di kantor-kantor pemerintahan, beberapa pejabat mendengar kabar itu. Ada yang mengangguk, ada yang diam. Tapi tak ada yang langsung mengeluarkan pernyataan. Mungkin karena mereka tahu, mereka sering berseberangan dengan Kwik. Tapi malam itu, salah seorang dari mereka menutup dokumen kebijakan, menatap jendela, dan berbisik: Kita kehilangan orang yang tak pernah takut mengatakan yang sebenarnya.
Besoknya, berita kematian Kwik tersebar. Media memberi headline. Tokoh-tokoh menyampaikan belasungkawa. Tapi yang paling terasa bukan duka, melainkan kehampaan.
Seolah, suara yang selalu menjadi penyeimbang (suara yang mengingatkan kita bahwa negara ini bukan milik segelintir orang dan sedang tidak baik-baik saja) telah benar-benar hilang.
Sandiaga Uno menyebutnya "mentor kebenaran". Hendrawan Supratikno menyebutnya "ekonom berintegritas". Tapi bagi rakyat kecil, Kwik adalah sesuatu yang lebih sederhana: penjaga akal sehat.