Pacu Jalur, Paku Nyasar, dan Gengsi Kampung Seberang
Di Teluk Kuantan, kalau kamu dengar suara tabuhan genderang dan teriakan seperti pasar obral, jangan panik. Bukan rusuh, bukan juga konser dangdut dadakan, tapi Festival Pacu Jalur, hari raya tidak resmi yang lebih heboh dari 17-an dan buka puasa gabungan RT.
Sungai Kuantan hari itu seperti panggung besar. Bukan cuma air yang mengalir, tapi juga ego kampung, semangat membara, dan kadang, sandal jepit nyasar. Jalur-jalur -perahu panjang yang dihias seindah tumpeng lomba antar-ibu PKK- berbaris rapi menanti giliran adu cepat, adu kuat, dan adu nasib.
Dua jalur unggulan tahun ini: "Macan Sungai" dari Kampung Ujung dan "Burung Petir" dari Kampung Tengah. Peminat dan pendukungnya tidak kalah militan dari fans bola. Bahkan ada yang rela ngecat rambut warna-warni seperti lambang kampung masing-masing.
Drama Sebelum Dayung
Dua hari sebelum lomba, pasar mendidih. Bukan karena kuah mie ayam, tapi karena amarah warga Kampung Ujung. "Warga Tengah ini licik! Jualan es tebu harga naik pas festival!"
Warga Kampung Tengah tak mau kalah. "Kami bukan licik, kami peka peluang usaha!" balas mereka, sambil nyinyir lewat status WhatsApp bertema motivasi palsu.
Bahkan nenek-nenek yang jual kerupuk ikut adu mulut. "Kerupuk kampung kami lebih gurih!"
"Ya, gurih micin!"
Untung Pak RT datang sebelum mereka duel pakai sendok sayur.
Rivalitas si Ujang dan si Dani
Ujang, jago dayung dari Kampung Ujung, rambutnya selalu licin karena minyak kelapa, dan selalu pakai kaos yang bertuliskan "JUARA ATAU HANCUR." Motivasinya sederhana: menang biar bisa ngajak gebetan makan bakso level dua.
Dani, sang kapten jalur Kampung Tengah, lebih santai gayanya. Tapi jangan tertipu, ia punya strategi dan simpan celana keberuntungan yang tak pernah dicuci sejak turnamen tahun lalu. (Makanya semua pendayungnya jaga jarak.)
Keduanya tidak akur sejak lomba layang-layang SD dulu, saat Ujang nuduh Dani curang karena pakai benang gelasan dari benang jahit ibunya.
Kejutan dari Bule dan Baliho Typo
Tahun ini istimewa. Datang seorang jurnalis asing bernama Samantha, dari Inggris. "So unique, very local, absolutely authentic!" katanya sambil motret ibu-ibu bawa bakul ke festival.
Semua langsung panik ingin tampil keren. Kepala desa buru-buru potong rambut. Ketua panitia pesan baliho kilat. Sayangnya, hasil cetak berbunyi:
"SELAMAT DATANG DI PESTA PACUL JALUR"
(Pacul, bukan Pacu. Tukang cetaknya ketiduran.)
Lomba dan Paku Misterius
Lomba dimulai. "Macan Sungai" dan "Burung Petir" meluncur seperti motor ngebut malam minggu. Air terbelah, semangat membuncah, dan kamera-kamera HP murahan mulai nge-lag.
Tiba di tikungan maut, "Burung Petir" mendadak oleng dan -byurr!- terbalik. Para pendayung jatuh bergulingan, ada yang masih sempat ngambil selfie.
Penonton heboh. "Curang! Kampung Ujung pasti pasang jebakan paku!"
Tapi kemudian ada anak kecil yang nemu paku karatan di pinggir sungai. "Pak, ini kayaknya bukan sabotase, tapi bekas gantungan jemuran."
Namun tuduhan sudah terlanjur menyebar. Dani dituduh pakai mesin motor tempel, Ujang dituduh lempar ilmu hitam (padahal itu cuma abu gosok).
Pak Makmur, tetua yang sudah dua kali pensiun dan tiga kali lupa ulang tahun cucu, naik ke perahu dan berteriak:
"Cukup! Kalau masih ribut, tahun depan kita lomba renang gaya bebek saja!"
Semua terdiam. Bahkan bayi yang nangis mendadak diem, mungkin takut dikira peserta lomba.
Rekonsiliasi ala Warung Kopi
Malam harinya, Ujang dan Dani dipaksa duduk bareng di tenda makan. Dikelilingi sate padang, kerupuk jangek, dan kopi tubruk, mereka mulai ngobrol.
"Eh, ternyata kakek gue sama kakek lo dulu satu tim jalur ya?"
"Iya, dan katanya sama-sama suka jajan di warung yang sama."
"Pantes kita kayak saudara tiri beda selera."
Tawa pecah. Bahkan Pak Makmur ikut tertawa, lalu lupa kenapa tertawa.
Lalu diumumkan: JUARA BERSAMA. Alasannya? Karena beda waktu cuma setipis kulit tahu, dan panitia malas ngitung ulang.
Festival Viral, Ibu Kota Merana
Samantha menulis artikel viral berjudul:Â
"Pacu Jalur: Lebih Wangi dari Skandal Politik"
Wisatawan pun berdatangan. Kampung jadi ramai. Sinyal hilang. Harga es naik. Tapi semua bahagia.
Sementara di ibu kota, berita korupsi, sogok-menyogok, dan jabatan warisan masih jadi langganan TV. Tapi di tepi Sungai Kuantan, Pak Makmur mengelus jenggot sambil berkata:
"Kita ini punya warisan sejati, bukan warisan jabatan. Pacu Jalur itu parfum rakyat, wanginya sampai ke hati."
Dayung dan Daya Humor
Pacu Jalur tak sekadar lomba dayung. Ia adalah lomba siapa paling tahan gengsi, paling bisa tertawa meski kalah, dan siapa yang tetap kompak walau sandal hilang.
Seperti kata Pak Makmur, "Kalau mau jadi pemenang sejati, ya jangan saling jegal. Salip boleh, sabet dayung juga boleh... asal jangan saling curi gebetan!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI