Tahun ini istimewa. Datang seorang jurnalis asing bernama Samantha, dari Inggris. "So unique, very local, absolutely authentic!" katanya sambil motret ibu-ibu bawa bakul ke festival.
Semua langsung panik ingin tampil keren. Kepala desa buru-buru potong rambut. Ketua panitia pesan baliho kilat. Sayangnya, hasil cetak berbunyi:
"SELAMAT DATANG DI PESTA PACUL JALUR"
(Pacul, bukan Pacu. Tukang cetaknya ketiduran.)
Lomba dan Paku Misterius
Lomba dimulai. "Macan Sungai" dan "Burung Petir" meluncur seperti motor ngebut malam minggu. Air terbelah, semangat membuncah, dan kamera-kamera HP murahan mulai nge-lag.
Tiba di tikungan maut, "Burung Petir" mendadak oleng dan -byurr!- terbalik. Para pendayung jatuh bergulingan, ada yang masih sempat ngambil selfie.
Penonton heboh. "Curang! Kampung Ujung pasti pasang jebakan paku!"
Tapi kemudian ada anak kecil yang nemu paku karatan di pinggir sungai. "Pak, ini kayaknya bukan sabotase, tapi bekas gantungan jemuran."
Namun tuduhan sudah terlanjur menyebar. Dani dituduh pakai mesin motor tempel, Ujang dituduh lempar ilmu hitam (padahal itu cuma abu gosok).
Pak Makmur, tetua yang sudah dua kali pensiun dan tiga kali lupa ulang tahun cucu, naik ke perahu dan berteriak:
"Cukup! Kalau masih ribut, tahun depan kita lomba renang gaya bebek saja!"
Semua terdiam. Bahkan bayi yang nangis mendadak diem, mungkin takut dikira peserta lomba.
Rekonsiliasi ala Warung Kopi
Malam harinya, Ujang dan Dani dipaksa duduk bareng di tenda makan. Dikelilingi sate padang, kerupuk jangek, dan kopi tubruk, mereka mulai ngobrol.