Cahaya yang Tidak Padam oleh Penilaian Orang Lain
Â
Kepercayaan diri sering kali diukur melalui mata orang lain: pujian, pengakuan, atau validasi yang kita terima. Namun, ada keajaiban yang berbeda saat kepercayaan diri berasal dari keyakinan dalam diri sendiri, tanpa bergantung pada apa yang orang lain pikirkan. Seperti puasa dalam tradisi Katolik dan Islam, di mana umat berfokus pada hubungan dengan Tuhan, kepercayaan diri sejati muncul dari refleksi dan keyakinan pribadi, bukan dari sorotan atau pengakuan dunia luar.
Bayang-bayang yang Mengaburkan Kepercayaan Diri
Sebagai manusia, sangat mudah terjebak dalam lingkaran mencari pengakuan dari orang lain. Komentar positif, jumlah pengikut di media sosial, atau penghargaan sering dianggap sebagai penentu nilai diri. Namun, kecanduan terhadap validasi eksternal ini memiliki konsekuensi yang dalam.
Ketergantungan pada orang lain untuk merasa baik tentang diri sendiri sering kali membuat kita kehilangan arah, merasa tidak pernah cukup, bahkan ketika kita mencapai apa yang sebelumnya kita anggap memuaskan.
Puasa Prapaskah dan Ramadan, dengan segala bentuk pantangannya, mendorong kita untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada dunia luar dan beralih ke dunia dalam. Selama masa puasa, seseorang belajar bahwa hubungan spiritual dengan Tuhan jauh lebih penting daripada apa yang orang lain katakan atau pikirkan. Proses ini menciptakan ruang untuk merenung dan membangun fondasi yang lebih kuat dalam diri.
Membentuk Kepercayaan dari Dalam
Kepercayaan diri yang sejati dibangun melalui perjalanan refleksi dan pengalaman, bukan dengan berlari mengejar pengakuan. Salah satu pelajaran penting dari puasa adalah menghadapi kelemahan pribadi dan menyadari bahwa kekuatan berasal dari dalam.
Ketika seseorang merasa lapar atau lelah, ia tidak bergantung pada pujian orang lain untuk terus bertahan. Sebaliknya, ia bergantung pada keyakinannya bahwa tindakan pantang ini memiliki makna yang lebih besar.
Fasting teaches resilience and independence. Misalnya, seorang Muslim yang menjalani puasa Ramadan belajar untuk mempercayai kekuatan dirinya, tidak hanya untuk bertahan tanpa makanan, tetapi juga untuk tetap sabar dan rendah hati di tengah tantangan.
Begitu juga dalam Prapaskah, umat Katolik menghadapi godaan untuk menyerah. Namun, kepercayaan diri mereka tumbuh dari keyakinan bahwa pantang mereka adalah wujud cinta kepada Tuhan, bukan untuk penilaian manusia.