Mohon tunggu...
Alfonsus Jimmy Hutabarat
Alfonsus Jimmy Hutabarat Mohon Tunggu... Freelancer - Masih mahasiswa.

Seorang pria yang bercita-cita menjadi nabi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Surat untuk Masa Depan

9 Juli 2019   23:27 Diperbarui: 11 Juli 2019   00:47 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Hannu Viitanen/Dreamstime.com)

Nak, jika kau membaca surat ini, ketahuilah bahwa aku tidak sedang bersama ibumu atau wanita lain yang kemungkinan jadi ibumu. Aku sedang mengetik di rumah masa mudaku, di rumah kakek dan nenekmu. Sendirian, di kamar yang kusebut kamar astronot. Aku belum mampu membeli rumah untukku sendiri.

Aku masih cukup muda dan miskin. Masih bergantung pada orangtuaku. Oleh karenanya jika kau bertemu orangtuaku di masa depan yang kau panggil kakek dan nenek, jangan lupa cium tangannya walaupun sudah keriput.

Oh ya, bagaimana rupa ibumu? Apakah aku mendapat jackpot? Atau setidaknya beritahu aku bagaimana ia memperlakukanmu? Di saat aku menulis surat ini, mungkin 20 tahun sebelum kau membacanya, ibumu boleh jadi sedang bersenang-senang menikmati masa muda, berlibur ke luar kota bersama teman-temannya, atau bahkan pergi menonton film terbaru bersama pacarnya. Haaah!

Entahlah, Nak, saat ini aku tidak tau bagaimana rupa ibumu, di mana tempat favoritnya atau apa lelucon yang mampu membuatnya tertawa terbahak-bahak. Yang kutahu pasti, pacarnya tidak lebih tampan daripada aku, ayahmu ini. Jika kau tak percaya, pergilah ke kamarmu, bercerminlah. Lihat, kau terpesona bukan? Memang buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Coba angkat sebelah alis matamu. Lihat? Tak semua orang bisa melakukannya bukan. Itulah pesonamu, pesona yang kuturunkan turun temurun masuk ke DNA-mu. Senjata yang kupakai untuk memikat para gadis, walau tak semua terpikat. Hahaha ya setidaknya ayahmu ini adalah orang yang cukup percaya diri di generasi ini. Tetapi hanya pada perempuan.

Nak, jika kau membaca surat ini di masa depan, ingatlah bahwa Michelangelo pernah dikritik oleh para pemuka agama ketika ia menampilkan beberapa kisah penciptaan dalam perjanjian baru di atas Kapel Sistine dengan gambar orang sepenuhnya telanjang.

Di pusat salah satu agama terbesar tersebut dia dihujat oleh banyak orang karena menampilkan seni dari gambaran imajinasi dirinya sendiri, tentang apa yang dibayangkannya tentang Tuhan, Adam, dan manusia lain, dalam keadaan telanjang. Hanya sedikit yang memuji karyanya.

Seiring berjalannya waktu, banyak orang menyadari bahwa gambaran telanjang tersebut sangat mewakili gambaran mengenai alam Ketuhanan. Mengapa? Karena pakaian yang melekat di badan manusia adalah produk kebudayaan, sangat duniawi. Ia hanya mewakili satu zaman.

Pakaian orang di zaman romawi tentu berbeda dengan pakaian orang di zaman modern. Bagaimana pula dengan pakaian manusia purba yang terbuat dari kulit atau pakaian seorang pekerja kantoran yang terbuat dari katun? Lantas ketelanjangan juga tak punya standar baku, batasan ketertutupan pakaian manusia pun merupakan produk kebudayaan yang berubah setiap waktu. 

Oleh karenanya kau bisa melihat beragam bentuk manusia dengan beragam gaya busana. Maaf jika memberatkan pikiranmu mengenai ini. Mungkin pembahasan ini tak akan kaudapatkan di sekolah, dan mungkin jika kau pahami tak akan menambah nilai rapormu.

Satu yang ingin aku sampaikan, aku tak menghendaki kau telanjang ke mana-mana. Setidaknya tidak jika kau tak punya alasan untuk itu. Aku hanya ingin kau menarik pelajaran dari kisah Michelangelo bahwa pandangan kita mungkin tak akan diterima oleh semua orang, tindak-tanduk kita pun juga begitu.

Selalu ada yang tak mau bersepakat dengan apa yang kita hasilkan. Tapi jadilah anak yang yakin, setidaknya setelah kau berpikir. Bagaimanapun perlakuanmu pada dunia dan bagaimana caramu untuk berpikir tentang apapun yang menjadi keresahanmu adalah hakmu sebagai seorang manusia. Jangan takut sekalipun seluruh dunia mencibirmu.

Nak, aku juga hendak menanyakan satu hal. Apa nama yang aku berikan padamu di masa depan? Apakah nama yang biasa saja? Seperti kebanyakan orang? Atau justru nama yang tak pernah kautemui bahkan di mesin pencari Google sekalipun. Ya, aku mungkin orang yang berbeda di duniaku. Terinspirasi dari salah satu film kesukaanku "Captain Fantastic", aku mendapat pencerahan.

Di dalam film itu, seorang pria menamai beberapa anaknya dengan nama-nama yang unik bahkan sulit untuk dipahami. Ia menamai anaknya dengan tidak meniru nama siapapun. Keren bukan? kenapa? Karena ia menganggap anaknya sangat spesial.

Ia tak ada duanya, tiganya, atau bahkan ratusannya di dunia. Ia hanya ada satu di dunia dan mungkin bisa menjadi inspirasi nama bayi yang ayahnya hanya ingin mengikuti arus atau mungkin agar biar praktis. Tapi semoga ketika kau lahir, aku bukanlah ayah yang pemalas. Semoga aku tetap pada semangat pembaharuan masa mudaku. 

Berbahagialah Adam yang menjadi pelopor nama-nama serupa di dunia. Namanya langsung diberikan Tuhan. Setidaknya itu yang dipercaya oleh orang beragama. Kau tahu, semua nama di dunia, dimulai dari sepasang orangtua revolusioner. Clara, Umar, Jenghis Khan, bahkan Osas sekalipun berasal dari satu bayi dan menginspirasi bayi lainnya.

Kuharap namamu tak bisa ditemui di mesin pencari ketika kau lahir, sehingga tugasmu adalah mengharumkan namamu sendiri dan menginspirasi banyak orang di dunia. Sehingga mereka menggunakan nama baikmu itu.

Atau mungkin juga aku akan tetap menggunakan beberapa potongan nama keren yang kutemui di hidupku dan menginspirasiku hingga kini. Soe dan Gie bisa jadi ada di beberapa bagian namamu.

Aku memang pengagum rahasia Soekarno dan Soe Hok Gie. Sekarang sudah tidak rahasia lagi. Atau Tanma dari nama Tan Malaka? Bagaimana dengan Revolt atau Red dari kata Redemption? Apakah itu baik? Semua kata tersebut memang menginspirasi dan telah kucatat di sebuah buku. Semoga buku tersebut tidak hilang di masa depan. 

Nak, masih banyak hal yang ingin kubagikan kepadamu, banyak cerita yang ingin aku sampaikan. Aku berharap kau tumbuh dengan bijaksana dan buatlah kesalahan sebanyak-banyaknya. Jangan lupa belajar dari itu.

Karena kau tahu? seseorang yang tak pernah salah adalah seseorang yang tidak pernah mencoba. Semoga aku bisa melihatmu ketika kau tersenyum sendiri atau bahkan terheran-heran membaca surat ini, di ruang tamu rumah kita atau di taman sambil menatap bintang-bintang.

Satu hal lagi, sebelum aku mengakhiri surat ini ingatlah bahwa aku sangat mencintai ibumu walaupun saat aku menulis surat ini di selasar kampusku, aku sama sekali tidak tau dia di mana.

Dan lagi, semoga aku benar-benar memutuskan untuk menikah di kemudian hari agar surat ini tidak sia-sia. Aku memang pernah berpikir untuk hidup selibat. 

(Padang, 09 Juli 2019, Pukul 22.25 WIB. Dibaca di masa depan, kemungkinan tahun 2030)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun