Mohon tunggu...
Alfian Misran
Alfian Misran Mohon Tunggu... Dosen, Akuntan, dan Penulis

Pemerhati Audit, Ekonomi-Bisnis dan Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Ekonomi di Persimpangan, Antara Sweet Spot dan Badai Senyap

19 September 2025   08:53 Diperbarui: 19 September 2025   08:53 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi di Persimpangan, Antara Sweet Spot dan Badai Senyap (Sumber: Ilustrasi AI)

Negeri di Titik Manis

Indonesia sedang menikmati sebuah fase yang jarang sekali mampir, yaitu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi berbarengan dengan inflasi yang rendah. BPS mencatat pada kuartal II 2025, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,12% secara tahunan. Di sisi lain, inflasi Agustus 2025 hanya 2,31% year on year (yoy). Angka itu lebih rendah dibanding rata-rata inflasi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.

Kondisi ini ibarat atlet yang berlari kencang tanpa ngos-ngosan dengan nafas stabil, detak jantung terkontrol, dan tubuh tetap bugar. Surplus perdagangan pun menambah energi, sepanjang Januari-Juni 2025 Indonesia mencatat surplus US$19,48 miliar. Itu berarti sudah 62 bulan berturut-turut negeri ini menikmati surplus perdagangan sejak Mei 2020.

Dalam literatur ekonomi, kombinasi pertumbuhan tinggi, inflasi rendah, dan surplus perdagangan kerap disebut "sweet spot". Sebuah momen di mana ekonomi bergerak maju tanpa ada tanda-tanda kepanasan. Tapi seperti kita tahu, dalam sejarah ekonomi, setiap fase manis selalu menyimpan potensi pahit.

Bank Indonesia dan Dilema Trinitas

Pada 17 September 2025, Bank Indonesia (BI) mengambil langkah mengejutkan dengan memangkas suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 4,75%. Ini adalah pemotongan ketiga berturut-turut dalam beberapa bulan terakhir. Tujuannya jelas untuk menjaga momentum pertumbuhan di tengah inflasi yang jinak.

Tapi setiap pilihan kebijakan punya harga. Rupiah langsung merosot ke kisaran Rp16.500 per dolar AS. Investor asing menarik sebagian portofolionya.

Fenomena ini mengingatkan kita pada teori klasik dalam ekonomi internasional, yaitu Impossible Trinity. Teori ini menyatakan bahwa sebuah negara tidak mungkin sekaligus memiliki tiga hal: (1) stabilitas nilai tukar; (2) kebebasan aliran modal; dan (3) otonomi kebijakan moneter. Indonesia memilih menjaga otonomi moneter dengan memangkas bunga dan membuka diri pada aliran modal. Konsekuensinya? Stabilitas kurs yang dikorbankan.

Teori Mundell-Fleming memperjelas bahwa dalam ekonomi terbuka, ketika bank sentral menurunkan bunga, maka arus modal keluar, kurs terdepresiasi. Inilah yang kita saksikan pada rupiah. Artinya, pilihan BI bukan salah, tapi sadar risiko.

Fiskal: Dari Obligasi ke Kredit

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun