Tapi di sinilah letak masalahnya. Pendekatan “tinggikan PDB, rakyat akan senang sendiri” terlalu simplistis.
Bayangkan begini: Pertama, kalau perekonomian tumbuh 7%, tapi akses pendidikan dan kesehatan tetap timpang, anak-anak miskin tak akan otomatis melompat kelas sosialnya; Kedua, kalau ekspor baja dan nikel melejit, tapi petani jagung di Dompu dan nelayan di Belitung tak dapat pasar, apa artinya pertumbuhan buat mereka? Ketiga, kalau pertumbuhan terkonsentrasi di Jakarta dan Jawa Barat, sementara Papua dan NTT tertinggal, apa artinya kue besar yang hanya tersaji di satu meja?
Optimisme itu sah-sah saja. Tapi data berkata lain, yaitu kemiskinan masih 8,47% atau setara 23,85 juta orang. Pertumbuhan tinggi tak ada gunanya jika kemiskinan jalan di tempat dan kesenjangan antarwilayah makin menganga.
Kenyataan di Lapangan: Ekonomi Rakyat Masih Loyo
Pendorong pertumbuhan Indonesia hari ini mayoritas datang dari: (1) Konsumsi rumah tangga yang menopang 54% PDB; (2) Ekspor sawit, baja, dan kimia yang melejit 10,67%; (3) Pembangunan infrastruktur dan investasi barang modal yang naik 6,99%.
Tapi di bawah permukaan, daya beli kelas menengah-bawah rapuh. Inflasi rendah memang membantu, tapi penghasilan sebagian besar pekerja tak beranjak. Kredit mikro seret, lapangan kerja formal terbatas, dan biaya hidup kota naik diam-diam.
Dengan kata lain ekonomi tumbuh, tapi tidak semua dompet ikut gemuk.
Trickle-Down Effect Sudah Mati
Selama bertahun-tahun kita diberi cerita tentang trickle-down effect yaitu ekonomi besar tumbuh, lalu rejeki menetes ke bawah. Teorinya indah. Praktiknya? Tidak lagi relevan.
International Monetary Fund (IMF) bahkan menyebut negara dengan ketimpangan tinggi justru rentan stagnasi jangka panjang. Artinya, tanpa kebijakan redistribusi dan pemerataan akses, pertumbuhan 7% sekalipun dapat “kosong gizi”.
Dunia sudah bergeser ke paradigma pertumbuhan inklusif, bukan sekadar membesarkan kue, tapi memastikan semua orang dapat potongannya.