Hari Itu Datang Seperti Guntur di Tengah Langit Cerah
Awal April 2025. Dunia belum selesai menarik napas dari resesi global, tiba-tiba datang kabar dari Gedung Putih. Presiden Donald Trump kembali ke tampuk kekuasaan dan langsung mengumumkan kebijakan Liberation Day Tariffs yang lebih terdengar seperti judul film Marvel, tapi isinya adalah tarif impor tingkat dewa.
Indonesia masuk dalam daftar negara yang dianggap punya "utang dagang moral" ke Amerika Serikat. Dan dengan itu, produk-produk ekspor andalan kita dari alas kaki sampai onderdil motor kena tarif total 42 persen (10% tarif dasar ditambah 32% tarif tambahan).
Pagi itu, pasar keuangan Indonesia mendadak seperti habis ditinggal kabur partner bisnis. IHSG anjlok, nilai tukar rupiah nyaris keok, dan para pelaku usaha? Gigit jari sambil menyeduh kopi yang mendadak terasa pahit.
Sebuah Tarif yang Hidupnya Hanya 13 Jam
Namun drama belum selesai. 13 jam setelah tarif diberlakukan pada 9 April 2025, Trump secara mengejutkan menangguhkannya selama 90 hari. Iya, 13 jam saja. Kalau tarif itu bayi, dia bahkan belum sempat digendong. Pasar langsung jungkir balik. Saham yang turun mendadak naik. Investor yang panik mendadak senyum-senyum.
Tapi yang tetap bingung: para pelaku usaha. "Jadi ini serius atau cuma gertakan doang?" tanya salah satu eksportir sambil mengecek ulang invoice yang baru saja dikoreksi untuk tarif baru yang ternyata batal.
Kritik bermunculan. Analis menyebut kebijakan ini "seperti sandiwara", dan CEO dari berbagai sektor menyindirnya "tarif TikTok" karena cuma viral sebentar lalu menghilang.
Ketika Gertakan Jadi Cermin
Daripada berkutat dalam spekulasi, Indonesia harus memutuskan untuk tidak hanya bertahan tapi berubah. Kita sadar, terlalu bergantung pada satu pasar itu seperti menggantungkan hidup pada mantan yang mood-nya kayak sinyal WiFi di hutan: tak stabil, gampang hilang, dan bikin stres.
Ada 2 (dua) langkah besar yang dapat menjadi fondasi transformasi ekonomi kita. Pertama, Kita Putar Setir Pasar. Tak bisa lagi menggantungkan nasib pada pasar AS yang mood-nya kayak mantan PHP (Pemberi Harapan Palsu), kita harus mulai banting setir ke kawasan lain seperti: Asia Timur yang biaya logistiknya lebih murah, pasarnya familiar, dan bahasanya bisa ditebak. Bisa juga ke Timur Tengah yang demand-nya tinggi, nilai tukar menguntungkan, dan pasarnya luas. Pilihan lain adalah Eropa, memang penuh standar ketat, tapi sekali masuk, pasarnya loyal dan premium.
Perjanjian dagang seperti RCEP jangan cuma langsung dipoles tapi harus betul-betul dieksekusi. Diplomasi dagang diperkuat. Intinya? Banyakin teman, kurangi drama. Dengan percaya diri, kita harus mulai bilang ke dunia: "Hai dunia, produk kami tak kalah cakep, yuk kenalan."
Kedua, Masuk ke Dunia Digital, Tapi Tak Asal Nyalain WiFi. Kita sadar, cara produksi jadul (jaman dulu) sudah tak bisa diandalkan. Tidak bisa lagi bikin laporan keuangan pakai spreadsheet dan doa semata. Maka transformasi teknologi menjadi keharusan bukan lagi pilihan. UMKM kita harus sudah kenalan sama: Smart factory, Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), Big data, dan Analitik prediktif.