Pada 18 Maret 2025 ini, pasar modal Indonesia mengalami guncangan hebat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 6%, memicu trading halt—penghentian sementara perdagangan saham—untuk pertama kalinya sejak pandemi COVID-19. Investor panik, pelaku usaha cemas, dan nilai tukar rupiah melemah. Pertanyaannya, apakah ini hanya kepanikan sesaat, atau kita sedang menghadapi awal dari krisis ekonomi baru?
Mengapa IHSG Jatuh Begitu Dalam?
Pasar tidak jatuh tanpa sebab. Di balik anjloknya IHSG lebih dari 6% pada 18 Maret 2025, ada badai besar yang menerpa perekonomian—baik dari dalam maupun luar negeri.
Ketidakpastian kebijakan ekonomi menjadi pemicu utama. Defisit APBN yang semakin melebar tanpa solusi konkret membuat investor kehilangan kepercayaan. Pemerintah masih bersikeras dengan strategi fiskal yang dianggap lemah, sementara pasar menunggu kepastian yang tak kunjung datang. Bukannya menenangkan, kebijakan yang diumumkan justru semakin membuat pelaku pasar cemas dan bersiap menarik investasinya.
Di saat yang sama, skandal korupsi besar di salah satu BUMN terungkap. Kasus ini mengguncang pasar lebih keras dari dugaan. Investor, yang selama ini masih percaya pada stabilitas institusi negara, kini mulai mempertanyakan transparansi dan tata kelola yang selama ini mereka andalkan. Keraguan ini berubah menjadi kepanikan, yang akhirnya mendorong aksi jual besar-besaran.
Sementara itu, inflasi yang kian mencekik semakin memperumit keadaan. Angkanya kini menyentuh 3,2%, menekan daya beli masyarakat dan memperbesar kemungkinan Bank Indonesia menaikkan suku bunga. Jika ini terjadi, beban pelaku usaha akan semakin berat, biaya pinjaman naik, dan pertumbuhan ekonomi bisa semakin melambat.
Dari luar negeri, tekanan semakin kuat. Ketegangan geopolitik global meningkat, membuat investor cenderung menarik dana mereka dari pasar negara berkembang untuk beralih ke aset yang lebih aman. Seakan belum cukup buruk, The Fed memberi sinyal bahwa suku bunga tinggi akan bertahan lebih lama. Arus modal asing pun keluar dari Indonesia, membuat tekanan terhadap rupiah semakin besar dan semakin memperparah situasi pasar.
Inilah kombinasi sempurna yang menciptakan kepanikan di pasar modal. Ketidakpastian kebijakan, skandal korupsi, inflasi yang menggerus daya beli, serta tekanan global menjadi bahan bakar yang membuat IHSG jatuh begitu dalam. Apakah ini sekadar koreksi? Atau pertanda bahaya yang lebih besar? Pasar menunggu jawaban, sementara ketidakpastian terus membayangi.
Bagi Pelaku Usaha: Bertahan atau Tenggelam?
Bagi dunia usaha, kejatuhan IHSG bukan sekadar angka merah di layar perdagangan. Ini adalah sinyal bahaya yang nyata. Konsumen mulai menahan pengeluaran, daya beli melemah, dan penjualan anjlok. Barang yang dulu laris, kini sulit bergerak.