Mohon tunggu...
Alfian Misran
Alfian Misran Mohon Tunggu... Dosen, Akuntan, dan Penulis

Pemerhati Audit, Ekonomi-Bisnis dan Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Di Balik Tarif dan Taktik: Kisah Indonesia Menjawab Dunia

10 April 2025   14:46 Diperbarui: 15 April 2025   08:22 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di Balik Tarif dan Taktik: Kisah Indonesia Menjawab Dunia (Sumber AI)

Hari Itu Datang Seperti Guntur di Tengah Langit Cerah

Awal April 2025. Dunia belum selesai menarik napas dari resesi global, tiba-tiba datang kabar dari Gedung Putih. Presiden Donald Trump kembali ke tampuk kekuasaan dan langsung mengumumkan kebijakan Liberation Day Tariffs yang lebih terdengar seperti judul film Marvel, tapi isinya adalah tarif impor tingkat dewa.

Indonesia masuk dalam daftar negara yang dianggap punya "utang dagang moral" ke Amerika Serikat. Dan dengan itu, produk-produk ekspor andalan kita dari alas kaki sampai onderdil motor kena tarif total 42 persen (10% tarif dasar ditambah 32% tarif tambahan).

Pagi itu, pasar keuangan Indonesia mendadak seperti habis ditinggal kabur partner bisnis. IHSG anjlok, nilai tukar rupiah nyaris keok, dan para pelaku usaha? Gigit jari sambil menyeduh kopi yang mendadak terasa pahit.

Sebuah Tarif yang Hidupnya Hanya 13 Jam

Namun drama belum selesai. 13 jam setelah tarif diberlakukan pada 9 April 2025, Trump secara mengejutkan menangguhkannya selama 90 hari. Iya, 13 jam saja. Kalau tarif itu bayi, dia bahkan belum sempat digendong. Pasar langsung jungkir balik. Saham yang turun mendadak naik. Investor yang panik mendadak senyum-senyum.

Tapi yang tetap bingung: para pelaku usaha. "Jadi ini serius atau cuma gertakan doang?" tanya salah satu eksportir sambil mengecek ulang invoice yang baru saja dikoreksi untuk tarif baru yang ternyata batal.

Kritik bermunculan. Analis menyebut kebijakan ini "seperti sandiwara", dan CEO dari berbagai sektor menyindirnya "tarif TikTok" karena cuma viral sebentar lalu menghilang.

Ketika Gertakan Jadi Cermin

Daripada berkutat dalam spekulasi, Indonesia harus memutuskan untuk tidak hanya bertahan tapi berubah. Kita sadar, terlalu bergantung pada satu pasar itu seperti menggantungkan hidup pada mantan yang mood-nya kayak sinyal WiFi di hutan: tak stabil, gampang hilang, dan bikin stres.

Ada 2 (dua) langkah besar yang dapat menjadi fondasi transformasi ekonomi kita. Pertama, Kita Putar Setir Pasar. Tak bisa lagi menggantungkan nasib pada pasar AS yang mood-nya kayak mantan PHP (Pemberi Harapan Palsu), kita harus mulai banting setir ke kawasan lain seperti: Asia Timur yang biaya logistiknya lebih murah, pasarnya familiar, dan bahasanya bisa ditebak. Bisa juga ke Timur Tengah yang demand-nya tinggi, nilai tukar menguntungkan, dan pasarnya luas. Pilihan lain adalah Eropa, memang penuh standar ketat, tapi sekali masuk, pasarnya loyal dan premium.

Perjanjian dagang seperti RCEP jangan cuma langsung dipoles tapi harus betul-betul dieksekusi. Diplomasi dagang diperkuat. Intinya? Banyakin teman, kurangi drama. Dengan percaya diri, kita harus mulai bilang ke dunia: "Hai dunia, produk kami tak kalah cakep, yuk kenalan."

Kedua, Masuk ke Dunia Digital, Tapi Tak Asal Nyalain WiFi. Kita sadar, cara produksi jadul (jaman dulu) sudah tak bisa diandalkan. Tidak bisa lagi bikin laporan keuangan pakai spreadsheet dan doa semata. Maka transformasi teknologi menjadi keharusan bukan lagi pilihan. UMKM kita harus sudah kenalan sama: Smart factory, Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), Big data, dan Analitik prediktif.

Awalnya banyak yang bingung, mungkin ada yang nanya, "IoT itu merk mi instan ya?" atau, "Big Data itu saudaranya Big Didi?" Tapi lewat pelatihan, subsidi teknologi, dan pendampingan dari kampus dan swasta, pelan-pelan UMKM kita harus mulai naik kelas dan bukan malah harap-harap cemas.

Kini, bukan cuma korporasi besar, bahkan UMKM dari gang sempit sudah dapat produksi otomatis dan kirim barang ke Dubai dari garasi rumah. Asal pengiriman tetap gratis ongkirnya.

Regulasi Diperbarui, Birokrasi Dirapikan

Transformasi ini bukan cuma terjadi di pabrik yang mulai pakai sensor, atau di UMKM yang udah bisa pasang iklan sampai di Turki. Perubahan juga merambat ke tempat yang selama ini identik dengan map tebal dan mesin antrian yang bunyinya bikin trauma yaitu birokrasi.

Pemerintah lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025, yang dimasukkan ke dalam RPJMN 2025-2029, harus betul-betul menyentuh area paling sensitif yaitu aturan main.

Dan semoga Perpres kali ini bukan cuma pajangan di flyer seminar tapi beneran dijalankan. Apa sih isinya? Mari kita liat dan nanti kita buktikan sama-sama di lapangan: 

Penyederhanaan Perizinan. Dulu urus izin usaha bisa lebih lama dari hubungan tanpa kepastian. Sekarang sudah dipangkas! Dari 12 meja jadi 3 klik (asal sinyal aman dan pejabatnya gak rapat dadakan). Ini seperti upgrade dari birokrasi analog ke swipe kanan digital langsung cocok, langsung nikah izin usahanya.

Digitalisasi Layanan Publik. Dulu surat rekomendasi diketik ulang tiap ganti pejabat. Sekarang sudah pakai sistem digital, bisa dilacak dan dicek tanpa perlu datang pakai baju rapi dan senyum palsu. Akhirnya, layanan publik masuk abad ke-21. Semoga aja bukan cuma ganti dari "form kertas" ke "form PDF tapi tetap disuruh print", kayak E-KTP tapi tetap disuruh fotokopi.

Insentif Fiskal buat Industri Strategis. Dulu dapat insentif ini kayak nyari diskon flash sale susah, terbatas, dan penuh syarat. Sekarang industri yang dianggap penting dikasih karpet merah, lengkap dengan potongan pajak dan pelukan hangat. Yang penting jangan sampai jadi "insentif buat yang hanya punya akses dan orang dalam", tapi juga betul-betul untuk usaha yang baru belajar berdiri.

Kemitraan Publik-Swasta (Yang Bukan Cuma Basa-Basi Forum). Dulu kolaborasi pemerintah dan swasta sering cuma wacana di spanduk acara setelah itu tak ada aksinya. Sekarang harus beneran saling isi dan saling bantu, dari hulu ke hilir. Kampus, pabrik, startup, semua harus duduk bareng. Akhirnya kolaborasi bukan cuma tempat selfie bareng menteri tapi bener-bener jadi tempat bareng mikir, bareng jalan dan selanjutnya ada aksi nyata setelah acara.

Paling Bikin Senyum: Akses Pembiayaan Inovatif. Karena ide besar itu sering kalah bukan karena jelek, tapi karena gak ada duitnya. Maka kini hadir Venture Debt yaitu pinjaman berbasis keberanian, bukan cuma agunan. Cocok buat startup yang lebih punya pitch deck daripada jaminan tanah warisan. Ada Green Finance ini duit buat yang ramah lingkungan. Bukan cuma buat yang jualan kompos, tapi juga inovasi yang tidak bikin bumi nangis. Lalu ada Crowdfunding Komunitas yaitu patungan online untuk ide keren dari siapa saja. Kalau ini  bukan buat beli album boyband, tapi harus bisa buat bangun bengkel pintar di banyak kota dan kabupaten se-Indonesia.

Intinya? Negara harus mulai belajar berlari secepat warganya yang lari nyari diskon di pesta diskon marketplace. Regulasi sekarang bukan lagi tembok tinggi tak terlihat. Ia harus berubah jadi jalan tol digital yang kalau dijaga dan dirawat rutin, bisa bikin UMKM melesat, investor betah, dan birokrat tidur nyenyak karena gak lagi dikejar-kejar surat rekomendasi.

Sektor-Sektor yang Dulu Sibuk Ngantuk, Sekarang Ikut Bangun

Kalau transformasi ini sebuah pesta rakyat, maka semua sektor sekarang harusnya sudah mulai naik panggung. Dulu ada yang cuma nonton dari pinggir sambil ngunyah gorengan, sekarang udah pakai mic, siap duet bareng UMKM dan teknologi. Mari kita lihat siapa aja yang akhirnya bangun dari tidur panjang mereka:

Sektor Energi yang dari kipas angin ke panel surya. Dulu fokusnya cuma pasokan listrik. Sekarang mulai ngomongin soal transisi energi, energi baru terbarukan (EBT), dan digitalisasi jaringan. Dari "asal nyala" jadi "harus hijau dan hemat". Dulu yang penting listrik nyala, sekarang kalau gak EBT, gak dilirik. Pemerintah dorong penggunaan IoT buat pantau distribusi. Jadi, kalau lampu padam, penyebabnya gak lagi disebut "angin kencang", tapi bisa ditrack pakai sistem. Gak mistis, tapi teknis.

Sektor Manufaktur sudah berani bilang "Selamat Tinggal Palu, Selamat Datang Sensor". Dulu produksi mengandalkan otot, tenaga kerja segudang, dan spreadsheet warna-warni. Sekarang otomatisasi, AI, dan predictive maintenance mulai masuk pabrik. Akhirnya, bukan cuma ganti seragam pabrik, tapi ganti cara mikir. Dari kerja keras ke kerja cerdas. Manufaktur kita gak cuma ngejar volume, tapi mulai ngomongin efisiensi dan kualitas. Bahkan beberapa UMKM udah pasang sensor suhu di ruang pengering kripik. High-tech banget!

Sektor Keuangan, dari formulir tebal ke Fintech di ujung jari. Dulu pinjam modal harus pakai map tebal, jaminan segala, plus surat keterangan waras. Sekarang bisa lewat aplikasi, di-ACC pakai algoritma. Kalau dulu ke bank harus mandi dulu, sekarang bisa pinjam modal sambil ngasuh anak. Fintech memperluas inklusi keuangan sampai ke pelosok. Ibu-ibu pengusaha sambal di desa sekarang bisa buka rekening, ngajuin pinjaman, dan belanja grosir lewat ponsel semua sambil jagain wajan.

Sektor Logistik, gak cuma kirim barang, tapi kirim data. Dulu kirim barang? Nanya, "Udah sampe mana?" Jawabannya: "OTW tapi ga nyampe-nyampe" Sekarang sudah bisa di-tracking real-time, lengkap sama suhu, lokasi, bahkan posisi supir lagi muter lagu apa (asal hp-nya ga dimatiin si supir). Kirim kerupuk ke Jayapura sekarang bisa dicek kayak ngelacak gebetan detail dan akurat. Logistik makin terintegrasi digital. Biaya turun, kepercayaan naik. Bahkan banyak startup logistik daerah yang mulai ekspor jasa kirim buat UMKM lokal. Paket jalan, usaha pun melesat.

Sektor Teknologi dari poster "Go Digital" ke aksi nyata. Dulu digitalisasi cuma slogan. Sekarang jadi kebutuhan pokok kayak pulsa dan WiFi. Dulu "transformasi digital" cuma pajangan acara forum. Sekarang, UMKM gak punya akun marketplace bisa dianggap belum buka toko. Pelatihan vokasi digital mulai menjamur. Anak muda di kampung udah bisa ngoding. Yang tadinya cuma buka jasa ketik skripsi, sekarang udah bikin plugin buat toko daring. Bahkan desa-desa mulai bikin dashboard keuangan sendiri. Pemerintah daerah pun pelan-pelan sadar data itu bukan musuh, tapi senjata.

Dulu banyak sektor nunggu bola. Sekarang, semua rebutan jadi striker. Dan yang paling menyegarkan dari semuanya? Semua ini bukan sekadar gimmick di baliho atau narasi di TikTok. Ini langkah konkret, terasa, dan mulai menyentuh semua lapisan ekonomi dari pabrik besar sampai pedagang tahu bulat yang udah bisa terima QRIS.

UMKM: Dari Cuma Numpang Lewat Harus Jadi Pemeran Utama

Kita harus akui, dulu UMKM sering dipanggil di forum ekonomi cuma buat formalitas. Duduk paling belakang, dikasih sertifikat, lalu disuruh pulang. Tapi sekarang? UMKM harus naik panggung. Pegang mic. Jangan mau jadi figuran lagi.

Mereka mulai mengerti soal efisiensi produksi. Mulai melek digital. Mulai nawarin produknya gak cuma lewat WA Story, tapi juga lewat e-commerce global.

Dulu bikin manual, sekarang punya mesin sendiri. Dulu ngaduk adonan sambil ngitung utang. Sekarang udah pake mixer industri yang dipantau dari HP.

Dulu jualan di lapak, sekarang jualan ke luar negeri. Ada yang mulai dari jual keripik di pinggir jalan, sekarang masuk ke katalog e-commerce Uni Emirat Arab. Dan ekspornya? Nggak lewat jalur mistis, tapi lewat regulasi resmi dengan standar yang makin dimudahkan.

Dulu takut pajak, sekarang bangga lapor. Dulu denger kata "pajak" langsung mules. Sekarang? Mereka belajar nyusun laporan keuangan digital, ikut pelatihan manajemen usaha, dan bahkan jadi peserta program inkubasi bisnis kampus. 

Siapa sangka, pelaku UMKM kini bisa bahas "EBITDA" (Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization) sambil ngaduk es cendol?

Gertakan Bisa Bikin Panik, Tapi Gerakan Bikin Hebat

Mungkin tarif Trump awalnya terasa seperti tamparan. Tapi kalau kita lihat hari ini, justru itu jadi lonceng kebangkitan. Karena apa?

Kalau dunia menggertak, Indonesia gerak. Kalau tarif bikin sesak, kita cari napas di pasar-pasar yang baru. Kalau cara lama gak mempan, kita buka jalan baru dengan teknologi, kolaborasi, dan strategi yang gak cuma disusun di hotel bintang lima, tapi dijalankan sampai ke dapur warung-warung desa.

Sekarang, ekspor kita bukan cuma soal volume, tapi soal nilai tambah. Produksi bukan cuma cepat, tapi juga cerdas. UMKM bukan cuma survive, tapi juga ngasih contoh ke negara lain.

Kita gak tahu apakah tarif Trump itu taktik, panik, atau iseng. Tapi yang jelas, respons Indonesia tidak boleh main-main. Kita ubah ancaman jadi arah baru. Kita ubah kebingungan jadi kebijakan. Dan kita ubah UMKM dari 'anak bawang' jadi anak emas perekonomian nasional.

Karena di dunia yang serba tidak pasti, satu hal yang pasti adalah Indonesia akan terus melaju asal WiFi stabil dan sinyal reformasi gak putus di tengah jalan. (AM)

Catatan:
Tulisan ini adalah narasi segar untuk semangat transformatif Indonesia dalam menghadapi kebijakan global yang mendadak dan seringkali absurd. Untuk pembaca yang mencari inspirasi, humor, dan harapan UMKM kita hari ini adalah jawabannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun