Suamiku sudah dibutakan oleh harta dan mungkin juga cinta serta kecantikan perempuan sexy. Begitu bodohnya dia tidak memahami wajah pura-pura seorang perempuan. Dia justru memelukku dan mengucapkan terima kasih. Selain itu, dia menyentuh bayi kembar kami dan memuji kecantikan anak yang tidak berdosa itu.
"Kamu tidak akan menikah lagi, mas. Kamu akan melihat bagaimana seorang perempuan mempertahankan pernikahannya di mata orang ramai!" Batinku seraya memandang wajahnya yang riang gembira.
Aku tidak membicarakan perkara rumah tangga kami kepada kedua orang tua. Aku mengira, jika mereka tahu maka akan menambah beban perasaan. Bukan tak mungkin ayah dan ibu menyuruhku untuk menceraikannya dan barangkali jika ayahku berbicara kepadanya maka akan terjadi perkelahian. Aku memendam sendiri rasa perih ini hingga hari yang menentukan.
Aku berteriak tidak setuju ketika penghulu bertanya tentang keikhlasan kepada istri pertama. Aku berdiri seraya menceritakan betapa perih perasaan ini berada di depan kedua pengantin yang tengah berbahagia. Selain itu, aku pun menceritakan sebab suamiku tidak mengumandang adzan pada kedua anaknya.
Semua orang, tak terkecuali lelaki dan perempuan hingga kedua orang tua pacar suamiku menatap ke arahku. Jelas sekali kalau mereka kaget mendengar penjelasanku.
"Apa-apaan ini? Bukankah kamu sudah setuju?" Ujar bos suamiku.
"Ya! Aku setuju untuk mempertahankan rumah tangga kami tanpa menyakiti perasaan seorang yang telah melahirkan dua bayi kembar yang hingga hari ini belum mendengar adzan dari ayahnya!"
Langkahku bergegas meninggalkan ruangan, menuju pulang. Tidak ada yang lebih indah dari melihat dan memeluk anak yang sembilan bulan berada di rahimku.
"Kenapa menangis, bu? Kasihan anak-anak jika melihat air mata dari sang ibu. Sudah bu. Lelaki yang baik pasti akan kembali kepada keluarganya," ujar bibi yang baru satu hari bekerja di rumahku.
Satu minggu aku merawat sendiri buah perasaan kami. Suamiku entah kemana. Mungkin, dia sudah menikah dengan perempuan yang sangat kubenci. Tapi, barangkali dia sudah mati. Tidak ada kabar darinya meski melalui pesan singkat.
Siang yang indah mengetuk-ngetuk rumah ketika aku sedang bermain dengan anak-anak di halaman belakang. Matahari dan senyum para bayi seakan energi yang memanggil suamiku untuk kembali memeluk perempuan yang menelan pil pahit selama satu minggu. Dia mengatakan penyesalan meninggalkan keluarga demi perempuan dan harta.