Suamiku dan pacarnya nyaris berciuman di ruang tamu rumah kami. Kejadian tersebut tepat ketika aku pulang dari rumah bersalin menggunakan taksi. Aku langsung menjerit dan meninggalkan anak-anak di kereta bayi ketika baru membuka pintu.
"Maksud kamu apa mas? Satu minggu aku di rumah persalinan. Tapi, kamu kemana? Kamu bilang sedang mengerjakan proyek di luar kota. Tapi, kenapa membawa perempuan ini ke rumah. Kalian telah mengotori rumah ini! Untung ayah dan ibu tidak mengantarku. Jika saja mereka melihat ini, mas. Betapa aku malu karena mereka mengetahui kebejatan suamiku!" Ujarku yang menutup wajah menggunakan kedua tangan seraya menangisi yang terjadi.
"Kamu tunggu aku pulang. Aku ingin bicara serius denganmu. Tapi, setelah aku mengantarnya pulang. Kamu jangan kemana-mana," kata suamiku yang bergegas menuntun pacarnya meninggalkan rumah kami.
Mereka melewati kereta bayi kembar yang wajahnya belum sempat menerima sentuhan dari sang ayah. Aku mengira bayiku akan mendapat perhatian lebih dari ayahnya. Tapi, suamiku hanya berjalan tanpa sekali pun menoleh ke dalam kereta.
Aku hanya bisa menangis seraya gontai menghampiri kereta bayi. Nuraniku begitu perih. Tapi, cukup ayahnya saja yang belum peduli terhadap kehadiran si kembar. Sebagai ibu, akan semakin gila diri ini jika menelantarkan bayi hanya karena emosi.
Kudorong kereta bayi hingga tiba di depan televisi. Betapa lemah dan lemas karena situasi yang sungguh-sungguh tak ingin kualami. Aku hanya bisa memandang barang-barang yang tak mengerti dengan tangis ini.
Suara mobil suami terdengar telah memasuki gerbang. Perasaan ini semakin was-was tentang yang akan terjadi. Sebelum pergi dia sempat berkata, ada yang ingin dibicarakan secara serius. Apakah dia akan menceraikanku demi hidup bersama perempuan itu?
Tidak. Suamiku tak ingin menceraikan istri yang di mata agama maupun hukum telah disyahkan. Dia berkata, masih ingin hidup bersamaku karena baru saja melahirkan anak-anaknya. Tapi, dia ingin menduakan cintaku. Yang dia mau adalah menikah lagi dengan anak bosnya.
Dia meminta persetujuanku. Dia memohon kepadaku tanpa memerdulikan tangis yang sejak tadi belum juga berhenti.
"Tolong mengerti aku. Aku bisa kehilangan pekerjaan dan kita akan kehilangan harta jika saja kamu tidak menyetujui pernikahan ini. Apa kamu tidak kasihan dengan anak-anak kita?" Suamuku memohon seraya menunjukkan wajah memelas.
"Kamu tidak pantas menjadi seorang suami, mas. Kamu memohon kepada istri. Lihatlah betapa wajahmu seperti pengemis di jalanan hanya untuk sesuatu yang receh. Tapi, baiklah. Aku akan menyetujui kamu menikah dengan perempuan itu. Namun, aku mesti hadir pada akad pernikahan kalian," jawabku memerlihatkan wajah tegas seorang perempuan yang tak ingin dimadu.