Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Balik Wasiat Sumur Tua

14 Februari 2021   06:46 Diperbarui: 14 Februari 2021   07:02 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mulai dari kepala yang dipisahkan dengan badannnya. Kemudian kaki kanan yang dilepaskan begitu saja. Lalu kaki kiri yang dicincang bak daging ayam yang ingin dijadikan masakan, dan kemudian tangan yang terakhir dilepaskannya dari tubuh ayah. Tak lupa, kakek mengambil cincin pernikahan ayah dan ibu yang masih melekat dijari-jari manisnya yang amis berlumuran darah. Entah untuk apa, nenek tak pernah menjelaskannya.

Nenek yang mengetahui itu, tak berdaya. Tak bisa berbuat apa-apa. Karena nenek tahu bahwa kakek adalah seorang petarung hebat yang sering menghabisi lawan-lawannya dengan ganas dan garang. Terlebih lagi ketika itu masih dalam masa perjuangan. Kakek yang usianya muda dan memiliki tenaga yang luar biasa, tak segan untuk mencincang lawan yang menjadi pengkhianat bangsa.

Nenek hanya bisa menangis saja meratapi kejadian yang begitu miris menyayat hati. Hanya bisa sesegukan meneteskan air mata dari kejauhan melihat kakek yang kesetanan.

***

Beberapa tahun berjalan, nenek sepertinya mulai bersahabat dengan keadaan hati yang diliputi awan gelap pekat masa lalu. Entah benar-benar bersahabat, atau ditahannya derita itu di dalam hati, aku tak tahu. Aku hanya tahu, kalau nenek selalu menunjukkan kebahagiaan di depanku. 

Namun berbeda dengan kakek, semenjak kejadian itu ia seakan tak bisa merelakan anaknya pergi dengan cara keji. Kakek seakan terus ingin membalas dendam pada ayah meskipun ia telah tiada. Selalu saja tentang ayah yang ia keluhkan sepanjang hidupnya ketika ada hal yang dirasa salah yang aku lakukan, menurutnya.

"Dasar, anak tak tahu diuntung. Sama seperti Masduki." Suara kakek memakiku dengan menyebut nama ayah ketika aku meminta kakek untuk menutup sumur di dapur karena tak lagi digunakan.

Aku sendiri mendengar cerita itu, tentu merasa terpukul bahkan karena sangat terpukulnya, aku merasa bahwa itu bukan kenyataan. Aku sempat berpikir bahwa aku mengalami Skizofrenia. Menganggap itu sebuah cerita khayal, ilusi dari nenek dan kakek. 

Aku pikir wajar menganggap semua itu karangan semata, karena bisa jadi ini adalah bentuk pertahanan diriku untuk tidak terjebak dalam depresi yang segera akan datang setelahnya. Namun, perlahan dan pasti aku mulai meyakini kejadian itu semenjak cerita yang diutarakan nenek disertai dengan banyak bukti.

Mulai dari baju ibu yang berlumuran darah, masih tersimpan rapi di lemari tua milik kakek. Sedangkan pakaian ayah, tersimpan rapi di lemari kecil nenek. Aku tak tahu alasan pasti mengapa mereka menyimpannya bahkan masih dengan bekas darahnya. Aku hanya berspekulasi bahwa kakek tak terima dengan kematian satu-satunya anak perempuan kesayangannya. Sedangkan nenek, entahlah.

Belum lagi, bukti lain yang ditunjukkan oleh nenek beberapa bulan sebelum kematiannya. Nenek menunjukkan satu tempat yang menjadi tempat ayah tidur selamanya dengan beberapa potongan tubuhnya. Tempat itu adalah sumur kering yang berada di dalam dapur, tempat aku tinggal bersama nenek dan kakek. Sumur yang menjadi saksi bisu kekejaman kakek yang telah susah payah membesarkanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun