Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Balik Wasiat Sumur Tua

14 Februari 2021   06:46 Diperbarui: 14 Februari 2021   07:02 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seorang anak, aku masih sulit menerima sebuah kenyataan pahit, realita yang begitu kelam, bahkan kisah itu seperti menghantam mentalku berkali-kali setiap hari. Ingin memaki, teriak, menangis, memukul, menendang, menghantam, membunuh bahkan memutilasi kakekku sendiri. 

Tapi disisi lain, hatiku tak mengijinkan perbuatan keji yang muncul dari nafsu untuk membalaskan dendam kematian ayahku sendiri. Hatiku dan nafsuku terus menerus saling berbisik, bergumul seperti setan dan malaikat yang berusaha saling mengalahkan sehingga aku bisa memutuskan dengan tekad bulat pada satu keputusan. Keputusan setan atau malaikat yang jadi pemenang.

Peperangan dalam diri ini tentu tak mudah untuk ditaklukkan. Tak bisa diredam hanya dalam hitungan hari, bulan bahkan mungkin sepanjang aku hidup di dunia ini. 

Peperangan dalam diri sendiri ini tentu sangat berat, sesuai dengan apa yang sering disampaikan oleh pemuka agama bahwa peperangan yang paling besar dan berat di dunia ini adalah perang melawan diri sendiri, antara diri yang hitam dan yang putih, antara diri yang baik dan buruk atau antara diri ini dengan banyak diri lainnya. Karena bukan hanya hitam dan putih yang ada di dalam diri ini. 

Tapi ada diri yang lain, diri yang memiliki warna yang berbeda, hasil dari pencapuran hitam dan putih. Kadang diri yang lain ini, bisa jadi pembisik kuat, semacam provokator untuk menuju kebaikan atau keburukan. Ada yang juga suka membawa pada penyesalan kenapa harus dilahirkan dalam keluarga seperti ini sehingga muncul keinginan bunuh diri.

Perasaan campur aduk bak es teler dengan segala campurannya yang tak benar-benar membuat orang yang meminumnya teler. Pergulatan dalam diri ini benar-benar melelahkan. 

Bagaimana tidak? Aku seperti berhadapan dengan banyak orang yang saling berbisik untuk melakukan sesuatu atas dasar sudut pandang berbeda dan penilaiannya sendiri. Hampir setiap malam aku hanya mampu memejamkan mata sebentar, setelah itu pikiran terus berputar menelusuri kisah malu kelam itu.

Pada satu titik, satu waktu, akhirnya aku memutuskan untuk tak melakukan apa-apa, tak lagi ingin mendengar bisikan banyak orang, meskipun sebenarnya orang --orang itu adalah diriku sendiri yang menjelma menjadi pribadi yang lain dan berusaha menjebloskanku pada tindakan yang dianggap benar sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing.

 Aku memutuskan untuk menjalani hidup seperti biasanya, seperti bayi baru lahir yang tahu menahu tentang keadaan dunia sebenarnya meskipun banyak kepura-puraan yang harus aku tutupi tentang perasaanku dalam hati.

***

Kematian  nenek yang memberi duka disaat seharusnya aku bahagia pada hari kelahiranku, aku pun dirundung duka yang bertubi. Kakek, sepertinya telah punya janji sehidup semati dengan nenek. Kakek seakan berlari kencang, tak rela wanita yang disayang berjalan sendirian menuju hunian yang sering disebut dengan tanah kelahiran Adam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun