Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Balik Wasiat Sumur Tua

14 Februari 2021   06:46 Diperbarui: 14 Februari 2021   07:02 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jangan sesekali kamu menutup sumur ini, kecuali ..." Ucap kakek terpotong suara sapi dan kambing yang sedang lapar. Sesegera kakek menuju kandang sebelah timur dapur.

Ini adalah hari ke 250 pada tahun 1987. Tepat pada hari ini aku mengalami pertambahan umur, 1 tahun lebih tua dari sebelumnya, 21 tahun. Aku bersyukur, karena meskipun aku hidup hanya dengan kakek dan nenek saja, tanpa orang tua, aku bisa tumbuh normal tanpa kekurangan apapun. Tapi, dihari yang sama, hari yang seharusnya aku bahagia meskipun kebahagianku selama ini sebagiannya adalah pura-pura. Aku dirundung oleh duka. Duka akibat Kematian nenek yang tiba-tiba saja meninggal dunia setelah sholat subuh selesai dilaksanakan.

Tak ada tanda-tanda atau petunjuk terkait dengan kematian nenekku, termasuk firasat yang tak pernah kunjung datang pada kakek atau padaku bahkan hingga 2 jam sebelum nenek meninggal.

Tentu, kepergian nenek ini sangat mengejutkan bagi kakek. Kakek yang sedang berjuang mengobati luka mendalam yang tak pernah kunjung sembuh akibat penyesalan. Menambah lukanya semakin mendalam, bahkan bisa jadi takkan pernah terobati sampai mati atau bahkan ketika ia di akhirat nanti.

Apalagi sebab rasa duka dan penyesalan itu berhubungan dengan kematian kedua orang tuaku. Entah pada saat aku usia berapa kedua orang tuaku meninggal, aku tak tahu. Namun, pernah suatu ketika, nenekku bercerita bahwa kematian kedua orang tuaku, salah satunya disebabkan oleh kakekku sendiri, ayah dari ibuku yang telah lama mati.

Saat itu, terjadi percekcokan antara kedua orang tuaku. Entah apa sebabnya, percekcokan sepasang suami istri itupun meledak begitu saja. Tak bisa terelakkan, emosi yang menjadi-jadi ditambah dengan bujuk rayu setan, ayahku tak bisa meredam kemarahan yang semakin memuncak bak seseorang yang sedang diujung orgasme, tak tahan, kemudian keluar. Diambilnya sebilah parang lalu kemudian ditebaskan pada leher ibuku yang sedang berteriak meradang, marah pada ayah yang tak lagi sadar dan dikuasai setan.

Mengetahui kejadian itu, kakek tak terima. Karena sebagai ayah, tentu saja siapapun akan marah mengetahui sang anak ditebas lehernya begitu saja. Kakek mengambil celurit yang biasa ia gunakan untuk menyiangi rumput untuk diberikan pada sapi dan kambing yang dipeliharanya. 

Dengan kekesalan yang begitu besar dan emosi yang meledak seperti gunung api yang telah lama bungkam dan tak sanggup lagi menahan lava pijar yang ingin keluar, meniupkan awan gelap berhamburan menutupi langit sekitar. Didatangilah ayahku yang sedang menyesali tindakannya dihadapan ibu yang sudah tak bernyawa.

"Dasar kurang ajar. Menantu yang tak tahu diri. Berani beraninya membunuh istri sendiri!" Suara kakek meneriaki ayah.

Krak, seperti suara gigi bertambrakan, tapi ini adalah suara tulang berbenturan dengan sebilah besi yang telah diasah tajam.

Ayah terkapar dengan darah segar, aroma amis seketika mengaliri tanah kering di sekitarnya membuat beberapa binatang kecil kabur berhamburan. Leher ayah ditebas dengan clurit oleh kakek. Masih merasa belum puas dengan apa yang dilakukan, kakek membabi buta melucuti setiap bagian tubuh ayah. 

Mulai dari kepala yang dipisahkan dengan badannnya. Kemudian kaki kanan yang dilepaskan begitu saja. Lalu kaki kiri yang dicincang bak daging ayam yang ingin dijadikan masakan, dan kemudian tangan yang terakhir dilepaskannya dari tubuh ayah. Tak lupa, kakek mengambil cincin pernikahan ayah dan ibu yang masih melekat dijari-jari manisnya yang amis berlumuran darah. Entah untuk apa, nenek tak pernah menjelaskannya.

Nenek yang mengetahui itu, tak berdaya. Tak bisa berbuat apa-apa. Karena nenek tahu bahwa kakek adalah seorang petarung hebat yang sering menghabisi lawan-lawannya dengan ganas dan garang. Terlebih lagi ketika itu masih dalam masa perjuangan. Kakek yang usianya muda dan memiliki tenaga yang luar biasa, tak segan untuk mencincang lawan yang menjadi pengkhianat bangsa.

Nenek hanya bisa menangis saja meratapi kejadian yang begitu miris menyayat hati. Hanya bisa sesegukan meneteskan air mata dari kejauhan melihat kakek yang kesetanan.

***

Beberapa tahun berjalan, nenek sepertinya mulai bersahabat dengan keadaan hati yang diliputi awan gelap pekat masa lalu. Entah benar-benar bersahabat, atau ditahannya derita itu di dalam hati, aku tak tahu. Aku hanya tahu, kalau nenek selalu menunjukkan kebahagiaan di depanku. 

Namun berbeda dengan kakek, semenjak kejadian itu ia seakan tak bisa merelakan anaknya pergi dengan cara keji. Kakek seakan terus ingin membalas dendam pada ayah meskipun ia telah tiada. Selalu saja tentang ayah yang ia keluhkan sepanjang hidupnya ketika ada hal yang dirasa salah yang aku lakukan, menurutnya.

"Dasar, anak tak tahu diuntung. Sama seperti Masduki." Suara kakek memakiku dengan menyebut nama ayah ketika aku meminta kakek untuk menutup sumur di dapur karena tak lagi digunakan.

Aku sendiri mendengar cerita itu, tentu merasa terpukul bahkan karena sangat terpukulnya, aku merasa bahwa itu bukan kenyataan. Aku sempat berpikir bahwa aku mengalami Skizofrenia. Menganggap itu sebuah cerita khayal, ilusi dari nenek dan kakek. 

Aku pikir wajar menganggap semua itu karangan semata, karena bisa jadi ini adalah bentuk pertahanan diriku untuk tidak terjebak dalam depresi yang segera akan datang setelahnya. Namun, perlahan dan pasti aku mulai meyakini kejadian itu semenjak cerita yang diutarakan nenek disertai dengan banyak bukti.

Mulai dari baju ibu yang berlumuran darah, masih tersimpan rapi di lemari tua milik kakek. Sedangkan pakaian ayah, tersimpan rapi di lemari kecil nenek. Aku tak tahu alasan pasti mengapa mereka menyimpannya bahkan masih dengan bekas darahnya. Aku hanya berspekulasi bahwa kakek tak terima dengan kematian satu-satunya anak perempuan kesayangannya. Sedangkan nenek, entahlah.

Belum lagi, bukti lain yang ditunjukkan oleh nenek beberapa bulan sebelum kematiannya. Nenek menunjukkan satu tempat yang menjadi tempat ayah tidur selamanya dengan beberapa potongan tubuhnya. Tempat itu adalah sumur kering yang berada di dalam dapur, tempat aku tinggal bersama nenek dan kakek. Sumur yang menjadi saksi bisu kekejaman kakek yang telah susah payah membesarkanku.

Sebagai seorang anak, aku masih sulit menerima sebuah kenyataan pahit, realita yang begitu kelam, bahkan kisah itu seperti menghantam mentalku berkali-kali setiap hari. Ingin memaki, teriak, menangis, memukul, menendang, menghantam, membunuh bahkan memutilasi kakekku sendiri. 

Tapi disisi lain, hatiku tak mengijinkan perbuatan keji yang muncul dari nafsu untuk membalaskan dendam kematian ayahku sendiri. Hatiku dan nafsuku terus menerus saling berbisik, bergumul seperti setan dan malaikat yang berusaha saling mengalahkan sehingga aku bisa memutuskan dengan tekad bulat pada satu keputusan. Keputusan setan atau malaikat yang jadi pemenang.

Peperangan dalam diri ini tentu tak mudah untuk ditaklukkan. Tak bisa diredam hanya dalam hitungan hari, bulan bahkan mungkin sepanjang aku hidup di dunia ini. 

Peperangan dalam diri sendiri ini tentu sangat berat, sesuai dengan apa yang sering disampaikan oleh pemuka agama bahwa peperangan yang paling besar dan berat di dunia ini adalah perang melawan diri sendiri, antara diri yang hitam dan yang putih, antara diri yang baik dan buruk atau antara diri ini dengan banyak diri lainnya. Karena bukan hanya hitam dan putih yang ada di dalam diri ini. 

Tapi ada diri yang lain, diri yang memiliki warna yang berbeda, hasil dari pencapuran hitam dan putih. Kadang diri yang lain ini, bisa jadi pembisik kuat, semacam provokator untuk menuju kebaikan atau keburukan. Ada yang juga suka membawa pada penyesalan kenapa harus dilahirkan dalam keluarga seperti ini sehingga muncul keinginan bunuh diri.

Perasaan campur aduk bak es teler dengan segala campurannya yang tak benar-benar membuat orang yang meminumnya teler. Pergulatan dalam diri ini benar-benar melelahkan. 

Bagaimana tidak? Aku seperti berhadapan dengan banyak orang yang saling berbisik untuk melakukan sesuatu atas dasar sudut pandang berbeda dan penilaiannya sendiri. Hampir setiap malam aku hanya mampu memejamkan mata sebentar, setelah itu pikiran terus berputar menelusuri kisah malu kelam itu.

Pada satu titik, satu waktu, akhirnya aku memutuskan untuk tak melakukan apa-apa, tak lagi ingin mendengar bisikan banyak orang, meskipun sebenarnya orang --orang itu adalah diriku sendiri yang menjelma menjadi pribadi yang lain dan berusaha menjebloskanku pada tindakan yang dianggap benar sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing.

 Aku memutuskan untuk menjalani hidup seperti biasanya, seperti bayi baru lahir yang tahu menahu tentang keadaan dunia sebenarnya meskipun banyak kepura-puraan yang harus aku tutupi tentang perasaanku dalam hati.

***

Kematian  nenek yang memberi duka disaat seharusnya aku bahagia pada hari kelahiranku, aku pun dirundung duka yang bertubi. Kakek, sepertinya telah punya janji sehidup semati dengan nenek. Kakek seakan berlari kencang, tak rela wanita yang disayang berjalan sendirian menuju hunian yang sering disebut dengan tanah kelahiran Adam.

Terpaksa, sekali lagi aku meminta bantuan tetangga untuk melakukan proses pemakaman, pemakaman kakek yang harus dilakukan pada sebuah lubang besar di dapur, sumur tua yang menyimpan cerita kelam di dalamnya.

Permintaanku ini tentu aneh bagi tetangga dan menimbulkan banyak Tanya. Tapi tak bisa aku jelaskan pada mereka dengan rinci mengapa aku harus menguburnya disana. Aku hanya mengatakan bahwa permintaanku itu sesuai dengan wasiat kakek. 

Suka atau tidak, setuju atau tidak, wasiat harus dijalankan, warga pun tak bisa menolak, kakek pun dikubur dalam satu liang lahat yang sama dengan ayah yang mungkin sedang menunggu meminta maaf di dalamnya.

Entah aku tak tau, alasan sebenarnya dibalik wasiat kakek. Aku hanya bisa berspekulasi sekali lagi, bahwa kakek masih memiliki dendam pada ayah karena telah membunuh satu-satunya anak kandung hasil dari buah cintanya bertahun tahun. Atau mungkin kakek ingin bertemu ayah dan memaafkannya disana. Entahlah! Hanya Tuhan, malaikat dan mungkin setan yang tahu jawabannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun