Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Kursi ke Kursi

7 Januari 2021   08:59 Diperbarui: 7 Januari 2021   09:02 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: youtube.com/VariousMusicify

"Ayah, aku lapar. Kita makan apa hari ini. Aku mulai bosan, hanya makan nasi dan garam beberapa hari ini." Kataku pada ayah yang hanya duduk diam di kursi, kursi yang sebenarnya sudah tak sanggup lagi menopang berat badan ayah. Jika salah bergerak sedikit saja, maka sudah pasti kursi tua itu bakal rubuh, tubuh ayah yang tua dan sedikit ringkih pun juga sudah pasti jatuh.

Ditengah dera rasa lapar dan rasa bosan dengan makanan itu-itu saja, nasi dan garam, terlintas dipikiranku kenapa ayah dan aku hidup seperti ini. Hidup jauh dari sanak keluarga lainnya, lebih memilih hidup di daerah terpencill jauh dari hiruk pikuk manusia. Mengapa ayah tidak berusaha untuk meninggalkan tempat ini dan pergi ke kota untuk mencari kerja? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul setiap kali aku mulai merasa hidup tak adil, makan hanya dengan nasi dan garam saja, serta selalu berakhir dengan diam saja tanpa berani aku mengungkapkan pada ayah, sosok yang sangat aku kagumi dan aku sayangi.

Namun pada hari ini, aku tak bisa lagi mengendalikan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikiran untuk aku bungkam disalah satu sudut ruang kepala. Justru pertanyaan itu seperti mempunyai kunci sendiri untuk membuka pikiran, hati dan mulutku untuk menanyakan pada ayah, sebab sebenarnya mengapa ayah memilih hidup seperti ini.

"Ayah, boleh aku Tanya sesuatu?" ujarku sedikit gugup.

"Kamu mau Tanya apa sama ayah?" kata ayah

"Ayah, kenapa ayah lebih memilih hidup seperti ini? Kenapa kita tidak pindah saja ke kota. Karena di kota kan pasti banyak pekerjaan yang bisa menghasilkan banyak uang. Trus aku kan bisa sekolah di tempat yang lebih baik dari sekolahku yang sekarang ini. Kenapa kita ...?"

"Nak, kalau Tanya itu satu-satu ya, biar ayah agak susah mengingat pertanyaannya." Dengan penuh senyum dan wajah bijaksana ayah memotong pertanyaanku yang sebenarnya masih banyak sekali berebut keluar dari pikiranku.

"Baik ayah" sahutku

"Kamu, tahu kursi yang ayah duduki ini?

"Iya. Aku tahu ayah. Itu kursi tua yang sudah hampir rusak."

"Ini kursi ternyaman nak."

"Maksud ayah? "lalu, apa hubungannya dengan kehidupan kita sekarang ini?" Tanyaku penuh penasaran. Kemudian perlahan ayah mulai menceritakan kausalitas kursi dan kehidupannya saat ini.

Ayah mengatakan padaku, dulu ayah adalah seseorang yang suka berebut kursi kehormatan dengan dalih demi rakyat melalui pemilihan umum penuh kecurangan. Ayah suka sekali dielu-elukan dengan sebutan wakil rakyat dan orang terhormat. Ya, ayah adalah anggota DPR.

Ayah juga sosok suami yang sangat dicintai oleh istrinya. Istri yang gemar sekali memamerkan harta kekayaannya. Sama dengan wanita lain yang suka dengan kemewahan dan berfoya-foya dengan banyak belanja. Entah uang yang didapat dengan cara halal atau haram, itu bukan lagi sebuah pertimbangan. Terpenting adalah bagaimana bisa hidup senang, traktir rekan-rekan, pamer kemewahan dan menjadi sosialita yang dikagumi di dunia maya.

Bertahun --tahun menjadi anggota DPR, duduk di kursi kehormatan, ayah selalu berusaha untuk menyenangkan istri yang sangat dicintainya, apapun caranya. Termasuk ketika harus membegal dana negara yang peruntukannya untuk rakyat dan bangsa. Tapi demi memenuhi gaya hidup parlente sang istri, ayah tak peduli dengan tindak tanduknya.

Pernah suatu ketika, ibu ingin melakukan operasi wajah dengan mengubah bentuk wajahnya menjadi lebih tirus, membuat hidungnya lebih lancip, seperti hidung pinokio yang suka berbohong, membuat kulitnya bersinar bak sinar rembulan, dan menyedot beberapa lemak yang tersimpan diantara lengan tangan, paha dan perut yang sulit sekali dikaburkan dengan pakaian. Tentu semua itu butuh modal yang besar untuk bisa memenuhinya. Terlebih lagi, ibu ingin melakukannya di luar Negeri sekaligus jalan-jalan bersama teman-temannya yang sama-sama suka happy-happy.

Atas dasar keinginan ibu itulah, ayah melakukan sebuah tindakan yang melanggar hukum. Ayah bersama teman akrabnya di kepolisian dan kejaksaan sepakat untuk bisa meloloskan buronan kasus korupsi yang dilakukan oleh salah satu petinggi negeri ini. Kesepakatan ini tentu bukan kesepakatan Cuma-Cuma. Ini adalah kesepakatan mutualisme, saling menguntungkan. Ayah lebih memilih untuk mendapatkan jatah uang, sedangkan lainnya memilih untuk berada pada jabatan yang lebih tinggi.

Kesepakatan gelap itu, seperti kesepakatan sebagian orang yang suka mencari kekayaan dengan jalan haram. Mereka yang tak punya kuasa dan ingin kaya, melakukan dengan cara berbeda. Datang ke gunung kawi dan melakukan kontrak dengan para penghuninya. Atau mereka yang gila kuasa, bisa jadi melakukan kesepakatan dengan setan yang suka meminta tumbal anak cucunya. Semua itu sebenarnya sama, sebuah tindakan kejahatan, tindakan melanggar hukum, baik yang dibuat manusia atau  bahkan mereka juga sering melanggar dan menganggap remeh aturan Tuhan. Ya, esensi kelakuan mereka sama, sama -- sama menuhankan Selain Tuhan, dan Tuhan menjadi tujuan paling belakang.

Beruntunglah, ayah tak melakukan kesepakatan dengan para jin, setan, penunggu tempat keramat atau roh halus agar bisa menjadi kaya dan punya kuasa. Tapi melakukan kontrak kerja hitam tak tertulis dengan rekan-rekannya yang berbeda profesi. Ya, setidaknya tidak berhubungan langsung dengan setan, jin atau makhluk halus, meskipun tindakan ayah juga tepa sama, adalah tindakan setan.

Beberapa bulan kemudian, kesepakatan yang dibuat ayah terbongkar. Semua yang terlibat harus menjalani proses persidangan di kursi pengadilan. Tak peduli dia adalah pejabat teras atau wakil rakyat yang suka duduk di kursi kehormatan. Ketika sudah terbongkar, maka harus duduk di kursi pesakitan. Begitupun juga ayahku yang harus duduk di kursi pesakitan pengadilan negeri.

Namun, negara ini memiliki hukum yang tak sepenuhnya dijalankan dengan sempurna. Karena pada sebagian orang, hukum di negara ini bisa jadi tumpul. Termasuk pada kasus yang melibatkan ayahku. Ayah hanya divonis beberapa bulan dan denda yang harus dibayar. Coba bayangkan dan bandingkan dengan kasus pencuri ayam. Bisa jadi tersangkanya dihukum bertahun-tahun, mendapatkan pukulan, sanksi social dan bahkan bisa berakhir dengan kematian.

Vonis yang ringan dan enda yang tak terlalu besar, belum lagi melakukan proses banding, sudah pasti ayah akan mendapatkan hukuman yang sangat ringan. Sudah tentu semua orang senang, terutama ibu dan keluarga lainnya terhadap apa yang menjadi keputusan hakim yang menjalankan persidangan.

Tapi tak disangka, ditengah --tengah proses hukum sedang berjalan. Tanpa kata dan cerita kepada keluarga atau setidaknya mengatakan sebab pastinya karena apa. Ayah kembali melakukan kesepakatan yang tak masuk akal dengan salah satu pemegang kuasa. Ayah sepakat agar harta yang dimiliknya disita oleh negara dan digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Keputusan ayah itu, tentu menimbulkan kemarahan pada semua anggota keluarga, terutama ibu. Namun, disisi lain, keputusan ayah ini, memberikan nilai pembelajaran baik bagi negara dan generasi selanjutnya. Karena saat itu, negara tempat tinggalku ini adalah negara yang penuh dengan intrik korupsi dan kolusi pemegang kuasa, pemilik harta dan para koleganya.

"Lantas bagaimana ayah bisa sampai ditempat ini? Rumah yang berada di pelosok desa, jauh dari riuh, hiruk pikuk manusia?" kataku pada ayah. Kemudian ayah melanjutkan ceritanya padaku.

Ia mengungkapkan bahwa setelah kejadian yang membuat geger bangsa ini, kejadian yang menggambarkan dan menyadarkan sebagian masyarakat bahwa pejabat yang korup bisa berakhir dengan taubat demi rakyat dan akhirat. ayah diusir oleh keluarga besarnya karena ayah tak lagi kaya raya. Lalu, ayah memilih pergi ke tempat ini. Tempat dimana aku dilahirkan oleh seorang ibu yang ditinggal suaminya menikah lagi. Seorang ibu yang kemudian memilih meninggalkan anaknya sendiri pada seorang laki-laki yang membeli sebidang tanah dan rumah yang ditinggalinya saat ini demi memperbaiki diri.

Entah, aku tidak tahu apa alasan ibu meninggalkanku pada laki -- laki yang aku sebut ayah ini. Tapi yang aku tahu pasti, semua sisa uang ayah setelah diberikan pada negeri ini, hanya cukup untuk membeli tanah dan rumah ini. Mungkin termasuk membeli diriku ini. Karena aku sendiri tak tau, sejak umur berapa aku ditinggal ibu dan dirawat oleh orang yang ingin taubat yang bisa aku sebut dengan ayah, ayah angkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun