Marni mengintip di balik kaca jendela perlahan-lahan menyibak tirai. Ada orang asing tak dikenal sedang mengetuk pintu rumahnya. Pria dewasa kira-kira berusia 60-an, dengan ciri berambut ikal kecoklatan. Perut buncit, tidak terlalu tinggi sekitar 155cm, ia menunggu dibukakan pintu.
"Di luar, siapa?"
"Marni, nggak kenal. Mak. Tapi, sepertinya bukan orang kampung sini."
Emaknya mengambil alih, menarik gagang pintu membelakangi Marni.
"Cari siapa, Pak?"Â
"Rumah Bu Siti. Kata orang, rumahnya di sini," ujarnya.
Emak Marni menjelaskan bahwa ia sendiri yang bernama Bu Siti. Lalu mempersilahkan tamu tersebut untuk masuk. Bapak berambut ikal itu mengambil kursi, memilih duduk di pojok dinding.Â
Langsung mengutarakan maksud kedatangannya,Â
"Jadi begini, Bu. Saya Dadang yang diberi mandat untuk mengurus ahli waris. Bahwa rumah Almarhum Pak Hasan yang di Banjardawa sudah terjual. Nah, karena almarhum tidak memiliki keturunan. Ibu Siti berhak mendapatkan bagian warisannya."
Marni tak sengaja mendengarkan pembicaraan itu. Ia kembali ke ruang tamu sambil menyuguhkan segelas kopi hangat.
"Warisan Pade Hasan yah, Pak."Â