Mohon tunggu...
andy_the_learner
andy_the_learner Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Bahasa Inggris

Very enthusiastic about optimizing English learning by injecting a great sense of humour and games in a classroom. Students are united in applying theories into useful speaking and writing practices.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Utang Budi

16 Maret 2024   18:57 Diperbarui: 16 Maret 2024   22:05 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

By Five

Kubuka dompetku. Tersisa selembar uang lima puluh ribu dan dua puluh ribu. Sudah kuupayakan menambah penghasilan dan mengurangi pengeluaran. Nyatanya, besar pasak daripada tiang. Kebutuhan keluargaku jauh melampaui rejeki yang bisa kudapat untuk anak dan istriku.

Sekilas  aku perhatikan kalender yang terpasang didinding ruang tamuku. Masih seminggu lagi honor guruku keluar. Ku tarik nafas dalam-dalam. Sesak. Jari-jari tanganku menarik dua lembar uang terakhir itu keluar.

"Tinggal tujuh puluh ya Abi? Aku belum ambil uang itu. Mungkin Abi perlu pake uang itu..."  Kata istriku, Sri, dikamar sebelah. Kudengar suara air dari perasan handuk untuk kesekian kalinya. Akupun beranjak ke kamar itu.

"Kalau ngomong perlu...ya tentu Abi perlu. Bensin sepeda motorku mau habis, Ummi." Kupegang kening Maryam, anak semata wayangku. Masih terasa panas tubuhnya. Bibirnya kering. Matanya juga sayu.

"Disisihkan saja dua puluh ribu, Abi...habis ini kita bawa Maryam ke pak Mantri di kampung sebelah. Kalo disuntik dan dikasih obat, paling cuman tiga puluh ribu." Ia meletakkan handuk basah itu dikening Maryam.

 "Beras juga habis, Abi...nanti aku bisa minta sekilo dua kilo di toko Mak Pah," jelas istriku datar. Aku merasakan ada isak yang tercekat dari kata-katanya. Aku tahu dia coba menenangkan diriku atas keadaan ini. Aku tahu ia juga menguatkan dirinya.

Memang setiap bulan aku hanya bisa mengantongi honor 500 ribu dari pekerjaanku. Dihemat dengan cara apapun, uang segitu tidak akan bisa memenuhi kebutuhan kami. Sebagai kepala keluarga, tentu aku tidak tinggal diam. Sepulang sekolah, aku dan sepeda motor tuaku tidak jarang mangkal diperempatan jalan. 

Mengangkut satu atau dua orang penumpang sudah jadi berkah tersendiri bagiku karena aku bisa mengisi bensin sepeda motorku. Jika masih ada waktu, aku berkelliling mengumpulkan botol plastik atau rongsokan apapun yang bisa dijual. Semuanya kulakukan hanya untuk mempertahankan kehidupan kami.

"Sudah berapa hutang kita di Mak Pah, Ummi?" kuserahkan uang lima puluh ribu ke istriku.

"Kurang lebih dua jutaan, Abi" jawabnya sambil memasukkan uang itu kedompetnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun