Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia. Buku: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri. BT 2022. KOTY 2024.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengubah Pola Pikir Pemerintah terhadap Guru

5 September 2025   10:33 Diperbarui: 5 September 2025   14:04 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beban atau berkah? Pola pikir pemerintah terhadap guru harus berubah. (KOMPAS/HERYUNANTO)

Suara rakyat belakangan ini sering menggema lewat berbagai gerakan sosial. Tidak hanya soal buruh atau PHK, tetapi juga tentang guru ---sosok yang setiap hari bersentuhan langsung dengan masa depan bangsa yang kerap dipandang sebelah mata. Narasi yang muncul di ruang publik bahwa guru dianggap sebagai "beban negara". Seolah menegaskan masih adanya pola pikir dan atau cara pandang yang keliru.

Dalam banyak perbincangan, guru sering ditempatkan dalam posisi ambigu. Di satu sisi disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa", namun di sisi lain kerap dipandang sebagai beban anggaran negara.

Pandangan seperti ini jelas keliru. Guru bukanlah beban melainkan investasi jangka panjang yang menentukan kualitas manusia Indonesia di masa depan.

Bayangkan jika negara kekurangan guru berkualitas. Maka sekolah hanya akan menjadi bangunan kosong dan kurikulum hanyalah dokumen tanpa makna.

Guru adalah motor penggerak pendidikan. Tanpa mereka, tujuan besar mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi hanya akan menjadi slogan di atas kertas.

Namun ironisnya, hingga saat ini, dalam banyak kebijakan guru masih kerap diperlakukan sebagai angka statistik. Berapa jumlah guru ASN? Berapa jumlah guru honorer? Berapa beban anggaran gaji mereka?

Cara pandang yang membuat guru direduksi hanya sebagai pos pengeluaran negara. Padahal, dibalik angka-angka itu ada jutaan wajah yang setiap hari berhadapan dengan murid, harapan orangtua,atau bahkan juga harapan negara.

Data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menunjukkan, jumlah guru di Indonesia sebanyak 3.365.547 orang, baik ASN maupun non-ASN. 

Angka ini bukan sekadar statistik melainkan cermin dari realitas betapa banyak guru yang masih berada di ruang tunggu menanti perubahan nasib. Guru mengabdi dengan gaji pas-pasan atau kadang jauh di bawah upah minimum. Tapi tetap memastikan anak-anak bangsa tetap mendapatkan pendidikan.

Situasi ini menimbulkan paradoks. Di satu sisi, negara mengagungkan guru sebagai ujung tombak pembangunan SDM. Di sisi lain, perlindungan terhadap mereka justru lemah.

Polanya hampir sama dengan buruh kontrak yaitu mudah direkrut, mudah diganti, tetapi kontribusinya tidak pernah diukur dengan adil.

Pemerintah lebih fokus pada bidang lain ketimbang investasi pada manusia yang menghidupkan pendidikan. Padahal, tanpa guru yang berkualitas maka semua program pendidikan hanyalah proyek administratif yang tidak menyentuh inti persoalan.

Mengubah cara pandang pejabat pemerintah terhadap guru adalah langkah fundamental untuk memastikan pembangunan tidak kehilangan ruh.

Data BPS tahun 2024 menyebutkan bahwa konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 54% terhadap PDB Indonesia. Tentu salah satu penopang konsumsi itu adalah gaji dan belanja guru. Jika kesejahteraan guru membaik maka daya beli mereka meningkat. yang pada akhirnya juga menggerakkan roda ekonomi nasional. 

Jadi, memberikan gaji yang layak kepada guru bukanlah pemborosan anggaran negara melainkan stimulus ekonomi.

Guru seharusnya dipandang sebagai aset strategis bangsa. Mereka adalah "mesin sosial" yang merancang arah peradaban melalui ilmu pengetahuan dan keteladanan.

Peran vital guru dalam menjaga stabilitas masyarakat. bukan hanya pengajar tetapi juga pembimbing moral, konselor, bahkan pengganti orangtua di sekolah. Ketika seorang murid mengalami masalah maka seringkali guru adalah orang pertama yang menyadarinya sebelum keluarga sendiri.

Guru juga adalah benteng terakhir dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan. Di tengah derasnya arus krisis moralitas yang kini masif terjadi di media sosial, gurulah yang memastikan anak-anak tetap memiliki jati diri.

Peran ini sejatinya tidak ternilai dengan angka. Namun, sayangnya, negara seringkali mengabaikan kontribusi sosial guru yang tak kasatmata ini.

Guru adalah investasi bangsa, bukan dianggap beban pengeluaran negara. (KOMPAS/IVAN DWI KURNIA PUTRA)
Guru adalah investasi bangsa, bukan dianggap beban pengeluaran negara. (KOMPAS/IVAN DWI KURNIA PUTRA)

Mengenai isu guru berkaitan langsung dengan kontrak sosial antara negara dan rakyat. Guru adalah agen negara yang paling dekat dengan rakyat kecil.

Jika guru hidup dalam ketidakpastian maka rakyat pun akan kehilangan kepercayaan terhadap negara. Sebaliknya, jika guru dihargai secara layak maka legitimasi negara akan semakin kuat.

Banyak negara sudah membuktikan hal ini. Sebelum melihat jauh ke Finlandia, coba misalnya kita melihat ke negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, banyak yang sudah mampu menempatkan profesi guru setara dengan dokter dan insinyur.

Tidak heran jika sistem pendidikan di negara tersebut menjadi salah satu yang terbaik di Asia atau bahkan masuk level dunia.

Indonesia bisa belajar dari contoh-contoh ini. Guru bukan sekadar pekerja  melainkan pilar peradaban. Jika kita ingin melihat masa depan bangsa, lihatlah bagaimana guru diperlakukan hari ini.

Namun, perubahan cara pandang tidak cukup hanya dalam retorika. Harus ada langkah konkret dalam kebijakan.

Pertama, negara harus memastikan kesejahteraan guru terpenuhi. Gaji layak adalah syarat minimal, bukan bonus.

Kedua, status guru honorer harus segera diselesaikan dengan kebijakan yang adil, bukan sekadar tambal sulam.

Ketiga, pemerintah perlu memperkuat program peningkatan kompetensi guru. bukan hanya melalui pelatihan formal tetapi juga pendampingan berkelanjutan. Guru yang terus belajar akan menghasilkan murid yang siap menghadapi tantangan zaman.

Keempat, jaminan sosial untuk guru harus diperluas. Tidak boleh ada guru yang sakit tanpa perlindungan kesehatan atau pensiun tanpa jaminan hidup.

Kelima, negara harus menciptakan ruang dialog yang sehat dengan guru. Organisasi atau serikat guru harus dilibatkan dalam perumusan kebijakan pendidikan. Kebijakan tanpa mendengar suara guru hanya akan berakhir di atas kertas.

Di sisi lain, masyarakat juga harus ikut mengubah cara pandangnya. Guru bukan pelayan, melainkan mitra dalam mendidik anak-anak kita. Orangtua yang menghormati guru akan menularkan nilai penghargaan itu kepada anak-anaknya.

Media massa juga memiliki peran penting. Alih-alih hanya memberitakan kasus negatif tentang guru. secara berimbang seharusnya media lebih banyak mengangkat kisah inspiratif mereka. Dengan begitu, citra guru akan terangkat dan publik semakin menyadari betapa penting peran mereka.

Jika guru dipandang hanya sebagai beban maka bangsa ini sebenarnya sedang menggali lubang krisis identitas di masa depan.

Mengubah cara pandang terhadap guru juga sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 31 UUD 1945 tentang hak atas pendidikan. Negara tidak boleh lepas tangan apalagi hanya melihat guru sebagai beban fiskal. Justru, memperkuat posisi guru adalah bentuk nyata dari tanggung jawab negara terhadap rakyat.

Pada akhirnya, sejarah akan mencatat apakah sebuah bangsa berhasil membangun bukan hanya dari sisi ekonominya tetapi juga dari bagaimana ia memperlakukan gurunya.

Jika guru terus dipandang sebagai beban anggaran negara maka masa depan bangsa ini akan suram. Sebaliknya, jika guru dipandang sebagai aset strategis maka Indonesia akan melangkah lebih mantap menuju cita-cita seperti negara maju yang lain.

Guru adalah cahaya bangsa. Tugas negara adalah memastikan cahaya itu tidak pernah padam.

Semoga ini bermanfaat.

Literasi: 1, 2, 3.

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== AKBAR PITOPANG ==

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun