Suara rakyat belakangan ini sering menggema lewat berbagai gerakan sosial. Tidak hanya soal buruh atau PHK, tetapi juga tentang guru ---sosok yang setiap hari bersentuhan langsung dengan masa depan bangsa yang kerap dipandang sebelah mata. Narasi yang muncul di ruang publik bahwa guru dianggap sebagai "beban negara". Seolah menegaskan masih adanya pola pikir dan atau cara pandang yang keliru.
Dalam banyak perbincangan, guru sering ditempatkan dalam posisi ambigu. Di satu sisi disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa", namun di sisi lain kerap dipandang sebagai beban anggaran negara.
Pandangan seperti ini jelas keliru. Guru bukanlah beban melainkan investasi jangka panjang yang menentukan kualitas manusia Indonesia di masa depan.
Bayangkan jika negara kekurangan guru berkualitas. Maka sekolah hanya akan menjadi bangunan kosong dan kurikulum hanyalah dokumen tanpa makna.
Guru adalah motor penggerak pendidikan. Tanpa mereka, tujuan besar mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi hanya akan menjadi slogan di atas kertas.
Namun ironisnya, hingga saat ini, dalam banyak kebijakan guru masih kerap diperlakukan sebagai angka statistik. Berapa jumlah guru ASN? Berapa jumlah guru honorer? Berapa beban anggaran gaji mereka?
Cara pandang yang membuat guru direduksi hanya sebagai pos pengeluaran negara. Padahal, dibalik angka-angka itu ada jutaan wajah yang setiap hari berhadapan dengan murid, harapan orangtua,atau bahkan juga harapan negara.
Data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menunjukkan, jumlah guru di Indonesia sebanyak 3.365.547 orang, baik ASN maupun non-ASN.Â
Angka ini bukan sekadar statistik melainkan cermin dari realitas betapa banyak guru yang masih berada di ruang tunggu menanti perubahan nasib. Guru mengabdi dengan gaji pas-pasan atau kadang jauh di bawah upah minimum. Tapi tetap memastikan anak-anak bangsa tetap mendapatkan pendidikan.
Situasi ini menimbulkan paradoks. Di satu sisi, negara mengagungkan guru sebagai ujung tombak pembangunan SDM. Di sisi lain, perlindungan terhadap mereka justru lemah.
Polanya hampir sama dengan buruh kontrak yaitu mudah direkrut, mudah diganti, tetapi kontribusinya tidak pernah diukur dengan adil.