Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia. Buku: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri. BT 2022. KOTY 2024.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tarik Ulur Penjurusan SMA, Apa yang Bisa Diharapkan?

17 April 2025   05:05 Diperbarui: 17 April 2025   08:03 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tantangan dan harapan di balik penjurusan SMA. (KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA)

Selama beberapa tahun terakhir dunia pendidikan Indonesia mengalami fase eksperimental yang cukup signifikan. Salah satunya adalah penghapusan sistem penjurusan di jenjang SMA. Sebelumnya dibagi menjadi jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Lalu, ada jurusan Agama untuk di MA. Kini, di bawah kebijakan menteri baru sistem penjurusan kembali dihidupkan. Sebuah keputusan yang tentu saja kembali mengundang beragam reaksi. Ini mungkin dianggap sebagai langkah logis dalam mempersiapkan siswa menghadapi dunia perkuliahan yang menuntut kejelasan arah. Di sisi lain juga muncul kekhawatiran. Apakah anak SMA sudah cukup siap mengambil keputusan sebesar itu?

Kembali diadakannya penjurusan tampaknya menjadi bentuk reality check terhadap dinamika dunia kerja dan perkuliahan. Kampus-kampus menuntut mahasiswa yang tahu arah sejak hari pertama perkuliahan. Dengan persaingan yang semakin ketat tentu tidak ada ruang bagi mereka yang masih bingung menentukan tujuan. 

Maka, SMA pun diharapkan kembali menjadi tahap pengarahan dan penguatan minat dan potensi akademik siswa. Namun, apakah penjurusan adalah solusi yang paling tepat atau justru jebakan yang baru dirasakan beberapa tahun ke depan?

Perlu disadari bahwa memilih jurusan adalah soal passion, interest, dan career mapping. Sayangnya, banyak siswa yang mengambil jurusan hanya karena ikut-ikutan teman, desakan orangtua, atau asumsi bahwa IPA lebih bergengsi dari jurusan lain. Paradigma usang ini harus dikikis agar penjurusan tidak menjadi sekadar formalitas.

Sebagai sebuah kebijakan, penjurusan bisa menjadi alat strategis untuk mengembangkan specialized skills. Namun, jika tanpa pembinaan karakter dan eksplorasi potensi yang mendalam maka penjurusan hanya akan menjadi pagar yang membatasi bukan jembatan yang mengantarkan. Sistem ini memerlukan pendekatan personalized learning, bukan sistem seragam yang memaksa semua siswa berjalan di jalur yang sama.

Tantangan dan harapan di balik penjurusan SMA. (KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA)
Tantangan dan harapan di balik penjurusan SMA. (KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA)

Memahami Tantangan Sesungguhnya

Tantangan penjurusan di era digital saat ini semakin kompleks. Profesi masa depan kerap membuktikan bahwa bukan lagi berdasarkan jurusan linear. Seorang sarjana Matematika bisa sukses di dunia desain grafis dan lulusan sastra bisa jadi data analyst. 

Dunia kerja masa kini malah nampaknya "menormalisasi" hal tersebut. Maka, penjurusan harus dimaknai sebagai fondasi eksploratif bukan batasan yang kaku. Fleksibilitas menjadi kata kunci.

Pendidikan abad 21 menuntut kolaborasi antara kemampuan hard skill dan soft skill. Maka, sistem penjurusan harus memberi ruang pengembangan keduanya secara seimbang. 

Jangan sampai siswa IPA dikejar target ujian tanpa kemampuan komunikasi. Atau siswa IPS dibiarkan ansos sehingga sering melakukan tawuran. Penjurusan menjadi ruang untuk memperdalam keahlian dan bukan menciptakan jurang antar siswa.

Dalam implementasi penjurusan seharusnya tidak hanya berbasis pada nilai akademik. tetapi juga memberikan perhatian lebih di sektor psikologis, pemetaan minat, serta potensi jangka panjang. 

Kehadiran guru BK perlu diperkuat. Sekolah harus mengembangkan ekosistem yang memungkinkan siswa mengenali dan menggali potensinya sedini mungkin.

Kembalinya penjurusan SMA menjadi momentum reflektif bagi sekolah-sekolah untuk memperbaiki ekosistem belajar. Ini adalah kesempatan untuk menghadirkan pendidikan yang lebih adaptif, kontekstual, dan memberdayakan siswa. 

Kita perlu mengedepankan prinsip bahwa setiap anak itu unik. dan pendidikan harus merayakan keberagaman potensi supaya tidak menyamaratakannya.

Hmm.. penjurusan SMA hanyalah alat. Yang lebih penting adalah bagaimana sistem pendidikan membekali siswa dengan lifelong learning, karakter tangguh, dan semangat untuk terus berkembang. 

Karena dunia berubah cepat. dan sejak awal anak SMA ini mesti siap sedia supaya mampu menjawab tantangan tersebut.

Penjurusan seharusnya membantu siswa menjadi versi terbaik dari dirinya. bukan menjadi label yang membatasi langkah mereka.

Penjurusan bukan akhir melainkan awal dari perjalanan panjang yang harus dilalui dengan kesadaran, kesiapan, dan keyakinan penuh.

Bagi anak SMA, ini soal menemukan jurusan atau menemukan jati diri. (DOK. MIND ID via Kompas.com)
Bagi anak SMA, ini soal menemukan jurusan atau menemukan jati diri. (DOK. MIND ID via Kompas.com)

Bikin Galau dan Potensi Salah Jurusan

Memilih jurusan di SMA/MA bukan sekadar memilih antara IPA, IPS, Bahasa, atau Agama. Ini adalah titik awal dari proses panjang bernama penemuan jati diri. Sayangnya, banyak siswa yang belum siap menghadapi pilihan ini. 

Usia remaja adalah fase eksplorasi yang sarat dengan kebimbangan dan pencarian makna. Tidak heran jika banyak dari siswa ini akhirnya memilih jurusan bukan karena keyakinan dan keputusan matang. melainkan karena tekanan pertemanan, tren lingkungan, atau bahkan gengsi semata.

Masa SMA acapkali dianggap sebagai masa paling indah dalam hidup. namun, di balik euforia itu tersimpan fase penentuan keputusan besar yang dapat berdampak jangka panjang. 

Ketika pertemanan menjadi faktor dominan maka banyak siswa yang "tersesat" dalam pilihan jurusan. Mereka memilih berdasarkan siapa teman satu kelas, bukan apa yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Akibatnya, proses belajar menjadi beban dan bukan ruang pengembangan diri. Lebih buruk lagi, potensi terbaik yang dimiliki siswa bisa saja terkubur hanya karena salah memilih jalur.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tak sedikit lulusan SMA yang kemudian "banting stir" di perguruan tinggi. Siswa IPA masuk jurusan sastra, anak IPS melanjutkan ke teknik, atau lulusan Bahasa justru kuliah di bidang ekonomi. Fenomena ini menunjukkan adanya "penyimpangan" antara pilihan jurusan di SMA dan visi masa depan siswa. Insya Allah, itu bukan kegagalan tetapi alarm bahwa sistem bimbingan untuk masa depan karir sejak di sekolah harus lebih diperkuat.

Peran konseling di Kelas X menjadi krusial dalam fase ini. Bimbingan tersebut tak bisa hanya dilakukan di penghujung semester apalagi sekadar formalitas. Harus ada pendekatan holistik yang menjadikan siswa sebagai subjek utama sehingga bukan sekadar objek kebijakan. 

Proses konseling harus membantu siswa mengenali kekuatan dirinya. bukan mengarahkan mereka pada pilihan-pilihan yang "katanya bagus". Personal assessment, refleksi berkala, dan eksplorasi minat harus menjadi bagian dari bimbingan tersebut secara intens.

Transformasi pendidikan di era sekarang menuntut pendekatan yang lebih student-centered dan berbasis potensi. Oleh karena itu, proses penjurusan harus menjadi sarana pembentukan orientasi hidup, penguatan karakter, dan pengasahan visi masa depan. 

Sudah saatnya sekolah membangun ekosistem yang mendukung penemuan jati diri siswa sejak dini. Ketika siswa didampingi secara konsisten dan penuh empati maka mereka akan lebih siap menentukan pilihan jurusan yang sejalan dengan passion dan future goals mereka. 

Menggeser paradigma penjurusan dan saatnya hentikan hierarki jurusan di SMA. (via beritabojonegoro.com)
Menggeser paradigma penjurusan dan saatnya hentikan hierarki jurusan di SMA. (via beritabojonegoro.com)

Pentingnya Dukungan dan Wawasan untuk Siswa

Sudah terlalu lama masyarakat memelihara mitos bahwa jurusan tertentu lebih bergengsi daripada yang lain. Jurusan IPA kerap dianggap sebagai simbol kecerdasan, sementara IPS dan Bahasa ditempatkan sebagai alternatif kedua dan ketiga. Cara pandang ini bukan hanya keliru tetapi juga berpotensi merusak semangat belajar siswa yang sebenarnya memiliki potensi besar di luar IPA. 

Pendidikan sejatinya bukan medan perlombaan atau menentukan siapa paling hebat. melainkan ruang kolaborasi untuk menemukan jati diri dan menggali keunikan masing-masing individu.

Anak IPS dapat menjadi ahli kebijakan publik, pemimpin ekonomi, atau penggerak sosial yang visioner. Sementara itu, siswa Bahasa bisa tumbuh menjadi komunikator global, jurnalis andal, atau penerjemah budaya yang menjembatani dunia. 

Dunia kerja masa kini semakin menghargai keberagaman kompetensi. sehingga tak ada lagi ruang untuk mendiskreditkan bakat tertentu hanya karena anggapan lama yang sudah usang.

Transformasi cara pandang ini bisa dimulai dari orangtua dan lingkungan sekitar. Mereka memiliki andil besar dalam menentukan arah psikologis anak saat mengambil keputusan penting. termasuk dalam memilih jurusan. 

Ketika dukungan dan kepercayaan diberikan secara penuh maka siswa akan lebih berani mengambil keputusan yang sesuai dengan potensinya. bukan keputusan yang sekadar terlihat "aman" di mata orang dewasa. 

Dukungan moral seringkali menjadi bahan bakar utama bagi semangat belajar yang berkelanjutan.

Sudah saatnya masyarakat berhenti menilai jurusan berdasarkan gengsi atau potensi gaji semata. Setiap bidang ilmu memiliki kontribusi unik terhadap kemajuan peradaban. Yang diperlukan adalah ketekunan, strategi, dan semangat untuk terus berkembang. 

Pendidikan sejati bukan soal menjadi yang terbaik menurut standar orang lain. melainkan soal menjadi versi terbaik dari diri sendiri dan memberikan dampak nyata bagi dunia dan akhirat.

Semoga ini bermanfaat.

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== AKBAR PITOPANG ==

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun