Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah 2013 Jelajah Negeri Sendiri 2014 | Best Teacher 2022 Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Wajarkah "Long Distance Parenting" Jadi Solusi Pola Asuh Anak Indonesia?

21 Juli 2022   15:07 Diperbarui: 11 Agustus 2022   06:08 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua menitipkan anak dengan keluarga di kampung sebagai Long Distance Parenting (Sumber: istockphoto.com)

Idealnya, kegiatan proses pengasuhan memang melibatkan interaksi yang intens secara langsung antara orangtua dan anak. Namun, dalam situasi tertentu, pengasuhan jarak jauh alias long distance parenting terpaksa harus dilakukan.

Pola asuh jarak jauh ini terjadi lantaran orangtua mesti bekerja jauh di luar kota atau luar negeri. Meski pada beberapa waktu yang ditentukan dapat kembali berjumpa, tetapi proses interaksi antara orangtua dan anak sering dilakukan secara virtual via video call.

Kali ini, penulis akan berbagi pengalaman terkait bagaimana kami sebagai orangtua memilih strategi parenting untuk pola pengasuhan buah hati.

Penulis sendiri adalah termasuk seorang perantau. Sejak SMP, penulis sudah hidup jauh dari keluarga di kampung dan terus berlanjut hingga kini setelah menikah pun penulis masih terus menetap di perantauan.

Entah mengapa hal ini harus terjadi. Tapi, jalan hidup ternyata berkata lain. Hujan emas di negeri orang mungkin sudah menjadi sebuah pilihan hidup bagi penulis yang telah digariskan oleh Tuhan untuk mengundi nasib dan peruntungan di negeri orang.

Pasca menikah pada Juli 2018, penulis langsung hijrah ke Pekanbaru.

Kebetulan istri bekerja sebagai seorang tenaga kesehatan di salah rumah sakit swasta disana. 

Akhirnya setelah dengan pertimbangan yang matang dan terencana akhirnya penulis lah yang memilih untuk resign dan memutuskan untuk hijrah.

Kami hidup di perantauan ini hanya berdua saja dimana tidak ada di antara anggota keluarga kami yang juga merantau di kota yang sama.

November 2019, putra pertama kami lahir ke dunia ini. Tanpa bersikap ria, alhamdulillah anak kami dapat tumbuh menjadi anak yang sehat, pintar, dan aktif.

Fase perkembangannya dilalui sesuai dengan semestinya. Bahkan beberapa fase mengalami percepatan ketika anak kami sudah bisa berjalan di usia menginjak 10 bulan. Hari demi hari, ia mengalami fase perkembangan yang membanggakan. 

Kini, di usianya yang belum genap 3 tahun, kemajuan dari segi kognitif dan karakter yang positif sudah semakin berkembang dengan baik.

Putra kami sudah bisa berbicara dan berkomunikasi, sudah jarang tantrum, sudah bisa berhitung 1-10, sudah mengenal huruf latin dan hijaiyah walaupun belum hafal, serta banyak lagi yang lainnya.

Itu semua tak lepas dari usaha dan kerja keras kami dalam mendidik dan menjalani peran sebagai orangtua dalam menerapkan fungsi parenting di tengah kondisi yang sangat menguras energi, jiwa raga dan kesabaran karena tidak banyak yang bisa diandalkan ketika hidup di perantauan. 

Lalu, bagaimanakah cara kami dalam melakukan fungsi parenting di perantauan? 

Dengan situasi dan kondisi dimana kami hidup hanya bertiga dengan batita, tidak ada satu pun anggota keluarga, serta kami sebagai suami istri yang sama-sama bekerja.

Itu semua memang butuh perjuangan yang sungguh luar biasa. Mungkin sudah banyak air mata yang telah terkuras. 

Tapi, alhamdulillah itu semua mendapat kemudahan dengan adanya bantuan dan perhatian dari orangtua, mertua, dan segenap anggota keluarga. 

Pada saat momen istri hendak melahirkan, keluarga dari mertua menemani kami dalam melewati momen yang sangat krusial itu. 

Kemudian pasca melahirkan hingga anak kami berumur 6 bulan ada mertua kami yang ikut membantu mengurusi istri dan anak kami.

Setelah itu, karena ibu mertua kami harus kembali ke kampung untuk mengurusi urusan penting di kampung sehingga kemudian ada adik ipar yang menggantikan mertua untuk ikut membantu proses mengurusi bayi kami.

Hingga dalam kurun waktu berikutnya, mertua dan adik ipar saling bergantian untuk membantu kami mengasuh anak di perantauan.

Pada waktu yang telah dirasa cukup bagi kami untuk hanya mengurusi anak secara berdua saja, akhirnya mertua dan adik ipar kembali ke kampung dan meninggalkan kami hanya bertiga di perantauan. 

Akhirnya kami kembali berjuang berdua sebagai pasangan muda dan sebagai orangtua dalam memerankan tugas untuk bekerja, melanjutkan berbagai aktivitas dan rutinitas pekerjaan, serta yang tidak kalah pentingnya adalah mengasuh anak. 

Syukurlah, anak kami bisa bekerja sama memahami keadaan dan mau dititipkan kepada tetangga selama ayah dan ibunya sama-sama sedang bekerja.

Tapi, keberadaan tetangga sebagai tempat untuk menitipkan anak bukanlah sebuah pilihan yang bisa benar-benar diandalkan. Karena tetangga kami tersebut juga punya kegiatan lain yang terkadang tidak bisa ditinggalkan.

Sehingga kami lah yang benar-benar memutar otak mensiasati kondisi tersebut dengan mengatur jadwal istri berdinas di rumah sakit. Serta penulis yang pulang ke rumah setelah bekerja dengan tepat waktu.

Untuk saat ini kami masih belum bisa menitipkan anak ke TPA (Tempat Penitipan Anak) karena usia anak kami yang masih dibawah tiga tahun. Serta kami khawatir jika terjadi sesuatu pada anak kami yang sangat aktif bergerak dan diluar kontrol pihak TPA.

Lama-kelamaan, keadaan sering tidak bersahabat. Kami menjadi galau dan dilematis menghadapi situasi yang sangat pelik ini.

Akhirnya, kami bersepakat untuk menitipkan anak dengan keluarga di kampung untuk beberapa saat. Pilihan kami dalam strategi pola asuh tersebut dapat diistilahkan dengan long distance parenting atau pengasuhan secara jarak jauh.

Long Distance Parenting (Foto: fatherly.com)
Long Distance Parenting (Foto: fatherly.com)

Pola asuh berbasis long distance parenting ini memang susah-susah gampang. Sepertinya di Indonesia sendiri pola asuh seperti ini masih jarang ditemui.

Hal yang sering terjadi di keluarga Indonesia adalah anggota keluarga baik orangtua, mertua, atau ipar kita yang akan ikut tinggal bersama kita di perantauan untuk membantu menjaga dan mengasuh anak saat kita bekerja.

Tapi, bisa saja long distance parenting ini akan diterapkan oleh para orangtua yang sama-sama bekerja di perantauan dan kebingungan menemukan tempat terbaik untuk menitipkan anak, maka kami rasa bisa saja pilihannya jatuh pada pola asuh long distance parenting ini.

Berdasarkan informasi yang kami rangkum dari berbagai sumber menyebutkan bahwa di luar negeri saja long distance parenting ini sudah menjadi pilihan dalam model pola asuh anak.

Orangtua di luar negeri banyak yang menerapkan pola asuh yang mengarah pada long distance parenting ini. Di mana tanggung jawab membesarkan anak tidak hanya terletak pada orangtua saja namun juga melibatkan seluruh keluarga besar. 

Jadi, kami menilai long distance parenting ini wajar dan sah-sah saja untuk diterapkan terutama bagi pasangan muda yang tinggal dan bekerja di perantauan seperti yang penulis alami. 

Upaya agar Long Distance Parenting Berjalan Lancar

Pola asuh yang kami terapkan berbasis long distance parenting ini memang sungguh menggetarkan jiwa dan perasaan kami selaku orangtua.

Kami sejatinya benar-benar tidak pernah mengharapkan kondisi ini harus terjadi. Bagi kami, menemani tumbuh kembang anak dan menikmati segala proses dari fase perkembangannya tentu sesuatu yang selalu dinantikan. Layaknya orangtua pada umumnya.

Meskipun pola asuh secara long distance parenting ini menjadi model parenting yang menantang, tetapi kita sebagai orangtua yang menerapkannya tidak boleh lupa kontrol diri dan tidak larut dalam kesedihan karena harus meninggalkan anak dan saling berjauhan satu sama lain.

Agar orangtua sukses dalam menerapkan pola asuh jarak jauh ini, maka di bawah ini tips cara long distance parenting bisa berjalan dengan lancar. Tips dibawah ini berdasarkan pengalaman dan cara yang kami lakukan, antara lain:

1. Berterus terang bahwa orangtua dan anak akan hidup saling berjauhan untuk beberapa waktu kedepan.

Hal inilah yang pernah sekali penulis lakukan kepada anak kami. Berhari-hari sebelum kami berpisah, selalu kami sampaikan kepada anak bahwa ayah dan ibu pergi duluan untuk tujuan pekerjaan.

Dari sugesti yang dilakukan ini, anak menjadi tidak canggung melewati itu semua. anak menjadi tidak terlalu rewel dan tidak cengeng.

2. Melakukan video call secara intens dan berkualitas.

Walau saling berjauhan, komunikasi harus tetap lancar. Apalagi zaman sekarang sudah sangat maju dan diberi kemudahan karena adanya teknologi dengan cara memanfaatkan fitur video call.

Gunanya adalah agar anak selalu merasa bahwa orangtua akan selalu ada untuknya walau sedang dalam keadaan tidak bisa menyentuh raga secara langsung.

Tekankan lah kepada anak, bahwa orangtuanya pasti akan selalu ada untuknya.

Jika punya banyak waktu dan kesempatan, maka lakukanlah kegiatan video call ini secara konsisten.

3. Membangun kerja sama yang apik antara orangtua dengan keluarga yang mengasuh anak di kampung.

Karena anak kami memang masih kecil, sudah jelas kami menitipkan anak dengan anggota keluarga yang ada di kampung. Keluarga di kampung pun saling berbagi kesempatan untuk mengasuh anak kami. 

Pada siang hari, anak bersama bibinya atau adik ipar kami. Sedangkan di malam hari, anak kami bersama kakak ipar karena memang suka memilih tidur di rumah kakak ipar tersebut.

Keluarga di kampung juga harus menjaga kualitas hubungan dengan anak agar ia tidak merasa kesepian. Serta dapat pula sebisa mungkin sering menceritakan dan memperlihatkan foto orangtua agar anak selalu bahwa banyak orang yang peduli dan menyayanginya.

4. Kontrol emosi dan kesabaran dari orangtua.

Sebagai orangtua, bohong bila kita tidak merasa rindu dan selalu ingin cepat-cepat berjumpa kembali dengan anak.

Dalam upaya untuk mengontrol rasa yang berkecamuk dalam diri dan perasaan ini maka orangtua bisa menikmati kembali foto-foto dan video kebersamaan dengan anak yang dilakukan selama ini.

Merenungkan kembali momen-momen kebersamaan yang menyenangkan bersama anak bisa menjadi obat kangen dalam keadaan sedang terpisah jauh.

Diharapkan anggota keluarga yang merawat anak bisa sering mengirimkan foto atau video ke orangtua tentang berbagai hal menarik terkait proses tumbuh kembang yang telah dialami oleh anak.

Seperti pada saat anak sudah bisa makan sendiri dan menghabiskan makanannya, sudah bisa BAB di toilet, belajar main sepeda, dan lain sebagainya.

5. Selalu berdoa kepada Tuhan agar diberi kekuatan dan kemudahan.

Hanya Tuhan yang bisa membantu dan memudahkan segala urusan kita di dunia ini. ketika hati ini terlalu galau menjadi segala dilema yang terjadi pada saat proses long distance parenting ini dilakukan maka solusi jitu adalah dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. 

Tuhan pasti akan memberikan jalan terbaik untuk segala hal yang kita serahkan kepada-Nya.

Penulis yang melakukan video call dengan anak ditemani keluarga di kampung dalam proses long distance parenting (Dokpri)
Penulis yang melakukan video call dengan anak ditemani keluarga di kampung dalam proses long distance parenting (Dokpri)

Demikianlah secuil pengalaman penulis yang harus menerapkan long distance parenting ini. Semoga informasi ini bermanfaat dan menambah wawasan kita tentang strategi dan model pola asuh yang bisa diterapkan para orangtua zaman now.

Lalu, apakah kondisi long distance parenting seperti ini berdampak pada tumbuh kembang anak? Saya akan bahas di artikel berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun