Hari kedua tidak kalah membingungkan. Di jadwal tertulis mata kuliah Pendidikan Agama dimulai pukul 07.30 secara online. Lantaran merasa santai, aku sempat jalan pagi dulu lalu sarapan.Â
Tiba-tiba ada info mendadak kalau kuliahnya berlangsung offline di kampus. Aku panik, langsung ganti baju kemeja dan berangkat secepat mungkin. Untung saja kelasnya baru dimulai pukul 08.00, jadi aku masih sempat hadir.
Lalu, ada mata kuliah Bahasa Pemrograman yang seharusnya dijadwalkan pukul 14.40. Anehnya, dosen memajukan waktunya ke pukul 10.00 pagi, dan lagi-lagi kelas digabung secara online. Zoom penuh, dan aku tidak bisa masuk.Â
Untung ada mahasiswa lain yang inisiatif membuat livestreaming di Discord, sehingga kami yang tidak masuk Zoom masih bisa mengikuti materi.
Sayangnya, kuliah dengan cara-cara seperti ini banyak memiliki kelemahan. Kami yang menonton lewat Discord tidak bisa bertanya langsung atau mendapat tambahan nilai dari dosen, padahal keaktifan sangat dihargai di mata kuliah ini.Â
Sementara itu, di sore hari aku seharusnya punya mata kuliah Sistem Digital, tapi dosennya tidak hadir sama sekali. Akhirnya, aku dan teman-teman hanya bisa belajar mandiri.
Hari Rabu
Hari ketiga cukup berbeda. Aku hanya punya satu mata kuliah, yaitu Matematika Diskrit, dan kali ini dosennya sangat disiplin. Â Beliau datang tepat waktu, menjalankan kelas sesuai jadwal, dan menerapkan aturan yang ketat.Â
Mahasiswa yang terlambat 30 menit tidak boleh absen, meski masih bisa ikut materi. Sebaliknya, kalau dosen yang terlambat lebih dari 30 menit, mahasiswa berhak pulang dengan absensi penuh.
Pengalaman hari itu membuatku untuk pertama kalinya merasa kuliah benar-benar sesuai dengan KRS. Meski tegas, aku merasa aturan seperti ini cukup adil dan membuat kelas jadi lebih teratur.
Hari Kamis