Mohon tunggu...
Akaha Taufan Aminudin
Akaha Taufan Aminudin Mohon Tunggu... Sastrawan

Koordinator Himpunan Penulis Pengarang Penyair Nusantara HP3N Kota Batu Wisata Sastra Budaya SATUPENA JAWA TIMUR

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Robohnya Bangunan Pesantren Tiang Kecil di Atas Harapan

5 Oktober 2025   12:03 Diperbarui: 5 Oktober 2025   12:03 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Puisi Esai

ROBOHNYA BANGUNAN PESANTREN
TIANG KECIL DI ATAS HARAPAN

Oleh: Akaha Taufan Aminudin

Tiang kecil berdiri terhuyung,
Membawa beban cerita kelam,
Pondok yang seharusnya jadi pelita,
Menjadi makam luka yang dalam.

Santri muda berpeluh cor,
Tubuh yang lemah dipaksa bertahan,
Apakah ini suara takdir?
Atau jeritan bisu kelalaian?

Ketika tangan yang tak terlatih,
Menggenggam harapan di dalam semen,
Keadilan mengapa kau diam?
Saat nyawa menari di ambang kesedihan?

Mari bangkit, jangan diam,
Suara kita bukan bisu,
Puisi ini adalah seruan,
Untuk dunia yang adil dan pilu.

Puisi Esai ini lahir dari sebuah kegelisahan yang nyata. Kabar tentang robohnya bangunan di pesantren, atau santri yang kehilangan nyawa karena terlibat dalam pembangunan fisik pondok, bukan lagi cerita asing. Tiang kecil yang semestinya menopang harapan justru menjadi saksi luka. Yang roboh bukan sekadar beton, melainkan nurani kita bersama.

Pondok pesantren sejak dahulu menjadi cahaya bangsa. Dari situlah lahir ulama, cendekiawan, dan pemimpin. Namun, ketika santri dipaksa bekerja sebagai buruh bangunan tanpa keterampilan, kita perlu bertanya: apakah ini benar pengabdian? Ataukah ini sebuah bentuk kelalaian yang dibungkus dengan dalih "belajar hidup sederhana"?

---

Suara Batin dan Refleksi Personal

Saya teringat kunjungan ke sebuah pondok kecil di Jawa Timur. Di tengah teriknya matahari, saya melihat anak-anak belasan tahun mengaduk semen, punggung mereka basah, tangan mereka melepuh. Saat ditanya apakah mereka lelah, mereka menjawab dengan polos: "Ini ibadah, ustaz. Kami membantu pondok."

Jawaban itu menohok hati saya. Ada ketulusan yang murni, tapi ada juga ironi besar di sana. Bagaimana mungkin sebuah ibadah harus dibayar dengan taruhan nyawa? Apakah kita tega membiarkan semangat pengabdian itu terjebak dalam eksploitasi?

---

Perspektif Religius dan Moral

Islam menempatkan keselamatan jiwa di atas segalanya. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Barangsiapa menipu (merugikan orang lain), maka ia bukan bagian dari golongan kami." (HR. Muslim).

Hadis ini memberi pesan jelas: keselamatan orang lain adalah amanah. Jika kita membiarkan bangunan didirikan dengan tangan-tangan yang tidak terlatih, apalagi sampai ada korban, bukankah itu sebuah bentuk penipuan terhadap amanah Allah?

KH. Hasyim Asy'ari pernah menekankan, mendidik santri adalah ibadah agung. Namun, amanah itu harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Apa artinya mendidik jika santri justru kehilangan nyawa karena kelalaian? KH. Ahmad Dahlan juga pernah berpesan: "Kebenaran yang tidak teratur akan dikalahkan oleh kebatilan yang teratur." Maka, jika sistem pembangunan di pesantren tidak ditata, kebatilan berupa kelalaian akan terus menang.

---

Analisis Sosial

Masalah ini tidak berdiri sendiri. Ada budaya diam yang membuat masyarakat menganggap hal semacam ini wajar. Banyak pihak berkata: "Santri memang harus kerja bakti, itu bagian dari pendidikan." Padahal, kerja bakti berbeda dengan kerja paksa tanpa perlindungan.

Di sisi lain, regulasi juga sering tak menjangkau pesantren kecil di daerah. Standar keselamatan kerja nyaris tidak berlaku di sana. Tidak ada pengawasan dari dinas terkait, tidak ada standar teknis dalam pembangunan, bahkan kadang tidak ada tukang profesional---semua diserahkan pada tenaga santri. Akibatnya, bangunan rawan roboh, dan korban pun berjatuhan.

Kita harus berani menyebut ini sebagai ketidakadilan struktural. Negara seharusnya hadir, memberi perlindungan bagi santri yang sejatinya adalah pelajar, bukan pekerja konstruksi. Pesantren juga perlu mengubah cara pandang: membangun bukan sekadar mengejar gedung berdiri cepat, tetapi memastikan keselamatan dan keberlangsungan hidup santri.

---

Harapan dan Seruan

Tiang kecil di atas harapan adalah metafora rapuhnya masa depan bila dibangun tanpa etika. Harapan generasi muda bisa runtuh jika pondasi pendidikan dicampur dengan kelalaian. Karena itu, kita perlu menegakkan tiga hal:

1. Etika kemanusiaan -- Santri adalah manusia, bukan tenaga kerja murah.

2. Standar keselamatan -- Pembangunan pesantren harus mengikuti regulasi teknis, melibatkan pekerja profesional.

3. Pengawasan publik -- Masyarakat dan pemerintah harus membuka mata, tidak boleh membiarkan tragedi ini terulang.

Puisi Esai ini bukan hanya serangkaian kata, melainkan cermin kegelisahan sosial. Ia ingin menggugah nurani: jangan ada lagi nyawa yang melayang hanya karena sebuah tiang kecil yang rapuh.

Pada akhirnya, kita semua punya tanggung jawab. Jika pesantren adalah pelita, maka tiang-tiang yang menopangnya harus kokoh oleh nilai kemanusiaan. Jangan biarkan pelita itu padam menjadi makam luka. Mari bangkit, bersuara, dan menjaga agar tiang kecil itu benar-benar menjadi tiang harapan---bukan tiang kematian.

Ahad Kliwon, 5 Oktober 2025
Akaha Taufan Aminudin
SATUPENA JAWA TIMUR

Catatan:

1.https://kabarhit.com/news-28928-update-mushola-ambruk-sidoarjo-15-korban-ditemukan-evakuasi-berlanjut

2.https://menaramadinah.com/104508/keikhlasan-luar-biasa-wali-santri-penyintas-musibah-pesantren-al-khoziny-kembalikan-santunan-untuk-bangun-mushalla-baru.html

3. Tragedi Ponpes Al- Khoziny: Tim SAR Temukan 4 Jenasah, Total Korban Tewas Capai Sembilan Orang https://serulingmedia.com/tragedi-ponpes-al-khoziny-tim-sar-temukan-4-jenasah-total-korban-tewas-capai-sembilan-orang/

Pegadaian MengEMASkan Indonesia 

MengEMASkan Indonesia 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun