Di tengah riuh rendah dunia digital di era AI yang sedang kita arungi, ada satu hal yang tetap bertahan sejak berabad-abad: emas. Dari prasasti kerajaan di Jawa kuno, mas kawin yang diwariskan turun-temurun, sampai gelang sederhana yang dipakai emak-emak di pasar, emas selalu hadir sebagai bahasa universal tentang nilai dan keberlanjutan. Ia tidak sekadar perhiasan tubuh, melainkan cara manusia menyimpan hasil jerih payahnya. Hari ini, wajah emas berubah lagi: bukan hanya di toko perhiasan, melainkan juga di layar gawai digital kita, hadir dalam bentuk tabungan digital yang bisa dimulai bahkan dengan recehan.Â
Jejak emas selalu muncul di persimpangan penting sejarah bangsa kita. Kerajaan-kerajaan kuno menempatkannya sebagai simbol kebesaran. Dalam adat pernikahan, emas menjadi semacam alat penjamin masa depan. Dan ketika badai krisis moneter 1998 menghantam, emas kembali berperan sebagai penyelamat. Rupiah ambruk, kepanikan meluas, dan pemerintah mencari cara memulihkan kepercayaan publik. Kala itu, artis dan tokoh publik ikut bergerak, ada yang melepas perhiasannya, ada yang merupiahkan dolar sebagai wujud solidaritas. Potongan cincin, kalung, keris berlapis emas, hingga dolar yang ditukarkan, semuanya mencerminkan tekad bersama.Â
Gerakan Aku Cinta Rupiah (GACR) pun lahir. Dari pejabat hingga seniman, masyarakat diajak menukarkan dolar atau menyerahkan emas demi memperkuat cadangan negara. Secara ekonomi memang tak mampu menahan badai, tapi secara moral gerakan ini jadi booster semangat yang membangkitkan kesadaran bahwa menjaga rupiah dan emas sama artinya dengan upaya menyelamatkan dan menjaga harga diri bangsa.
Sejak ribuan tahun silam, emas sudah dipercaya lintas budaya sebagai alat tukar. Jalur sutra memperdagangkannya dari Asia ke Eropa, kerajaan Nusantara menggunakannya dalam transaksi, hingga akhirnya dunia menjadikannya standar keuangan global. Alasannya jelas: emas langka tapi tak mustahil ditemukan, mudah dibagi tanpa kehilangan nilai, tak berkarat, dan tahan lama. Bangsa Lydia di Asia Kecil bahkan tercatat sebagai yang pertama mencetak koin emas pada abad ke-6 SM. Dari sana emas menempuh perjalanan panjang sebagai jaminan nilai universal.
Pada abad modern, sistem keuangan dunia sempat resmi menggunakan apa yang disebut gold standard. Artinya, setiap lembar uang kertas yang beredar dijamin cadangan emas di bank sentral. Namun sistem ini akhirnya ditinggalkan pada awal 1970-an, ketika kebutuhan mencetak uang melebihi cadangan emas yang tersedia. Sejak itu, nilai mata uang tidak lagi ditopang langsung oleh emas, melainkan oleh kepercayaan pada pemerintah dan stabilitas ekonomi. Meski begitu, reputasi emas sebagai simbol kepercayaan global tetap bertahan sampai hari ini.
Kini, di era digital, emas mendapat bentuk baru. Tabungan receh yang dulunya mustahil, kini bisa dimulai dengan Rp. 10 ribu atau Rp. 20 ribu. Mahasiswa atau generasi muda yang melek literasi finansial bisa menyisihkan uang jajan, pedagang bisa menaruh sisa omzet harian. Semua tercatat rapi di saldo emas digital. Inilah yang mengubah cara pandang: emas bukan lagi milik kaum berada, tapi menjadi kebiasaan sederhana yang bisa diakses siapa pun.
Data terbaru menunjukkan tren ini makin masif. Sampai akhir 2024, saldo Tabungan Emas Pegadaian sudah menembus sekitar 10,33 ton yang dimiliki jutaan nasabah. Sementara itu, produk Deposito Emas melalui aplikasi Pegadaian Digital Service pada Januari 2025 telah mencapai 118 kilogram. Angka-angka ini menegaskan bahwa menabung emas bukan sekadar wacana, tetapi mulai mengakar sebagai perilaku finansial masyarakat.
Visi besar bangsa kita adalah Indonesia Emas 2045. Sebuah gagasan agar di usia 100 tahun kemerdekaan, Indonesia berdiri sebagai negara maju, mandiri, dan berkelanjutan. Tapi bagaimana mungkin itu tercapai jika budaya menabung masih rapuh? Generasi muda kerap lebih rajin top up game yang diperparah dengan top up judol, atau langganan aplikasi hiburan ketimbang menyiapkan tabungan jangka panjang. Padahal, daya tahan ekonomi bangsa bukan hanya soal investasi raksasa, melainkan juga konsistensi langkah kecil warganya.
Disinilah emas menawarkan jalan yang lebih realistis. Tak serumit saham, tak sefluktuatif kripto, namun cukup stabil dan menjanjikan untuk menumbuhkan kebiasaan finansial sehat. Pandemi 2020 sudah membuktikan, ketika banyak usaha runtuh, emas justru merangkak naik. Seorang driver ojek online pernah bersaksi bahwa saldo emas kecil-kecilan yang ia kumpulkan sejak 2018 menjadi penopang keluarga ketika pesanan menurun drastis.
Cerita semacam itu hanya mengulang pola lama. Emas selalu menjadi "safe haven" saat badai. Jika kebiasaan menabung emas bisa menjadi budaya, maka bangsa ini punya benteng kolektif yang kuat. Generasi muda pun menemukan cara yang lebih dekat dengan gaya hidup mereka. Kini, lewat aplikasi resmi, emas bisa dibeli semudah memesan kopi. Harganya bisa dipantau realtime, dan dicairkan seketika jika dibutuhkan. Demokratisasi emas benar-benar terjadi, dari instrumen eksklusif menjadi aset rakyat.