Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Mungkin tidak signifikan, namun melalui niat baik, doa dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Pinter Tapi Miskin

14 September 2025   09:24 Diperbarui: 14 September 2025   09:46 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Abang ini pinter kali, tapi kok miskin ya?"

Kalimat itu dilempar santai oleh seseorang yang kukenal baik. Saya nggak tersinggung. Saya ketawa. Bukan karena ucapannya benar, tapi karena dia keliru membaca mekanisme kehidupan manusia. Takdir? Ah, skip dulu. Saya mau bicara yang bisa disentuh pakai akal: cara nilai bekerja, cara uang mengalir, dan kenapa cerdas tidak otomatis sejahtera alias kaya raya. 

Saya tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kekontrasan. Guru-guru hebat, dosen-dosen telaten---hidupnya pas-pasan, kalau gak mau dibilang miskin. Di sisi lain, ada yang kemampuan otaknya pas-pasan, kalau nggak dibilang bodoh, tapi kaya raya, sepengamatanku banyak diantaranya yang jadi politikus, artis, pebisnis yang lihai ngurus orang dan momentum atau faktor priviledge keturunan, anak sultan gitu loh. 

Realita ini jarang hitam-putih, apalagi kalau kita buka halaman tentang kemiskinan sistemik: akses pendidikan yang timpang, ongkos kesehatan yang mencekik, jejaring yang mewaris, aturan yang sering lebih ramah pada modal besar ketimbang warga biasa. Jadi kalau ada yang nyeletuk "orang miskin karena bodoh," jujur saya bukan tersinggung karena merasa dihina---saya jengkel sama kesombongan logikanya. Tangan jadi gatal pengin kemplang mulutnya.

Begini. Di dunia nyata ada dua kerja yang sering disangka sama, padahal beda: mencipta nilai dan menangkap nilai. Banyak orang pintar itu jago bikin sesuatu jadi lebih baik---menaikkan mutu, menurunkan cacat, membuat alur rapi. Nilai tercipta. Tapi uang baru masuk kalau ada yang bisa menangkapnya---mengemas janji, memberi harga, menutup kontrak, mengatur margin sampai jago ngomong. Dua otot, dua kebiasaan.

Kamu bisa bikin kopi terenak sedesa, tapi kalau kedaimu sepi karena nggak ngerti jam ramainya orang lewat, ya tetap sepi. Di lab atau di pabrik, saya bisa nyetting fermentasi sampai panen nata de coconya memuaskan. Itu nilai. Tapi tanpa pembeli, skema pembayaran, dan pintu distribusi, nilai itu menguap ke tangan orang yang pegang kanal.

Lalu soal distribusi. Kita dibesarkan dengan mitos "yang terbaik pasti menang." Di pasar, sering kali distribusi yang menang. Siapa yang kenal siapa. Siapa yang rajin follow-up tanpa baper. Siapa yang sanggup mengetuk seratus pintu, bukan sekadar lima pintu "yang kelihatan cocok." Produk "cukup layak" yang hadir di banyak meja bisa berlari duluan, sementara karya brilian tanpa corong tertinggal di laci. Kadang bukan otaknya yang kurang, tapi suaranya yang tak sampai.

Ada juga perkara tuas---leverage. Kekayaan jarang lahir dari jam tangan tunggal. Ia lahir dari tim yang berjalan, sistem yang mengulang, modal yang menggandakan, dan konten/kode yang bekerja ketika kita tidur. Orang perfeksionis yang kerja sendirian rapi, tapi kecil. Orang yang mau membakukan cara kerja jadi SOP, melatih dua anak muda yang lapar belajar, dan berani memutar sedikit modal---dia mengalikan output tanpa mengalikan lelah.

Di titik ini, pilih-pilih permainan jadi penting. Sebagian orang pintar nyaman di game status: gelar, pengsayaan, idealisme mutu. Ada martabat di sana, dan saya menghormatinya. Tapi insentif uangnya lemah. Sementara sebagian orang "biasa" main di game uang: komisi, arbitrase, markup. Bukan lebih mulia atau hina---beda permainan, beda hadiah. Salah membaca game bikin kita geram pada hasil yang sebenarnya konsisten dengan aturan mainnya.

Dan jangan lupa wilayah emosi---ini bagian yang sering bikin orang "pas-pasan" bisa melaju. Kecerdasan rasional itu mesin. Kecerdasan emosional itu setir, rem, dan kompas. Dia yang bikin kita tahan tidak meledak saat batch panen nata de coco gagal, tetap tenang saat buyer minta revisi tengah malam, tahu kapan diam lebih mahal daripada bicara, dan kapan menurunkan ego demi menutup kontrak tanpa membakar jembatan.

EQ bukan "lembek", EQ itu kemampuan membaca ruang, mengelola impuls, dan memilih respon yang bikin hubungan nempel. Banyak deal besar lahir dari hal kecil: ritme balas pesan, konsistensi janji, cara menolak yang tidak mempermalukan. Orang yang mungkin tak cemerlang di papan tulis, tapi peka di ruang tamu---sering menang di meja transaksi.

Uang juga suka ketidakpastian. Ia datang pada yang berani ambil risiko terukur, tahan malu, cepat belajar. Di sini EQ ikut bekerja: menenangkan tangan supaya tidak gegabah, menjaga kepala tetap dingin saat pasar berbelok, bikin kita cepat pulih setelah salah langkah. Pasar menghargai kecepatan belajar, bukan keanggunan rencana.

Tambahkan satu bahan lagi: kepercayaan. Banyak transaksi besar lahir dari kebiasaan kecil yang diulang: hadir di momen orang lain, menjawab tepat waktu, menepati janji kecil. Orang yang supel dan konsisten sering masuk lebih awal ke percakapan penting. Yang teknikal tapi tertutup? Sering dipanggil belakangan, saat porsi kue sudah terbagi. Dan ya, struktur tetap ada. Start orang beda-beda. Ada yang lahir di simpang jalan, ada yang lahir di ujung gang. Menyederhanakan semuanya jadi "bodoh vs pintar" itu nyaman buat ego, tapi malas untuk akal sehat.

Jadi, waktu ada yang bilang "Abang ini pinter kali, tapi miskin," saya tertawa karena tahu kalimat itu melihat hidup hanya dari satu kaca. Kalau mau dibikin sederhana, ini inti yang kupilih untukku sendiri: ubah cara bicara ke pasar tanpa mengkhianati nurani. Dari paragraf panjang yang wangi teori, jadi satu janji yang terasa di kantong---disampaikan dengan kepala dingin dan hati hangat.

Misalnya, ada pemilik pabrik nata de coco mengadukan masalah produksinya, alih-alih bilang "Saya konsultan produksi nata de coco profesional," tapi langsung berikan solusi konkrit, katakan begini: "Audit dua jam, turunkan reject tiga puluh persen dalam tiga puluh hari lewat set-point parameter fermentasi dan SOP panen. Dapatkan action list satu halaman, biar kubantu follow-up empat belas hari." Apakah ini menjamin kaya mendadak? Tidak. Tapi ini memindahkan ilmu dari etalase ke keranjang belanja. IQ memastikan itu mungkin. EQ memastikan itu diterima, dijalankan, dan diulang.

Saya nggak bermimpi merapikan dunia dalam satu artikel. Saya hanya ingin mengajak melihat peta: di satu sisi ada jalan pengetahuan; di sisi lain ada jalan penangkapan nilai; di tengahnya ada jembatan bernama kecerdasan emosi. Kamu boleh memilih berjalan di satu jalur, atau belok sedikit supaya dua-duanya tersentuh. Yang jelas, jangan biarkan orang yang tak paham mekanisme hidup mendikte nilaimu. Tawa tadi bukan pelarian; itu rem singkat sebelum gas ditarik lagi---dengan mesin yang kencang, setir yang peka, dan tujuan yang makin jelas.

(Ajuskoto)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun