Mohon tunggu...
Aisyatul Fitriyah
Aisyatul Fitriyah Mohon Tunggu... -

mahasiswa ulul albab,berjiwa pancasila

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari 'Cha' untuk 'Nji'

7 November 2016   13:47 Diperbarui: 7 November 2016   13:53 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

      Pertandingan tetap berlanjut atlet yang lain meneruskan langkah menuju garis finish. Paramedis cekatan memberi pertolongan pertama padaku. Kesadaranku melemah dan entahlah apa yang terjadi dengan kakiku atas kecelakaan yang barusan terjadi.

# # #

      Kata ibu aku tidur pulas selama tiga minggu istilah medisnya, dalam kondisi koma. Setelah kecelakaan di Stadion kala itu kupikir hidupku telah sampai pada TITIK kehidupan yang membuatku terhenti menjadi makhluk-Nya di bumi. Ternyata hanya profesiku sebagai atlet lari yang diberhentikan oleh Tuhan, dan nyawaku hanya sebatas KOMA alias tidur ‘nyenyak’ selama tiga minggu. Ketika aku terpental jauh dan kemudian tersungkur kepalaku juga terbentur keras jatuh ke tanah yang menyebabkan aku koma. Bagaimana dengan kakiku?

Kabarnya sangat burukk !!

      Dokter mendiagnosa kakiku mengalami cedera fractures yang disebabkan karena tekanan yang berlebihan pada kaki bagian bawah yang mengalami shin splints. Rupanya rasa nyeri pada telapak kaki yang aku rasakan ketika berlari adalah gejala bahwa kakiku mengalami shin splints atau cedera pada kaki bagian bawah yang sering dialami oleh para atlet, salah satunya pelari. Karena aku tetap memaksakan diri untuk terus melanjutkan berlari, maka cedera di kakiku semakin mengalami tekanan yang membuat langkahku hilang keseimbangan dan salah menapakkan kaki kemudian terpental jauh. Akibat benturan benturan keras berikutnya menyebabkan cedera fractures yang lebih parah.

      Aku mencerna penjelasan dari dokter berulang ulang. Mencoba memahaminya kata perkata. Mengejanya lagi barangkali ada kesalahan aku mendengarnya. Dan hasilnya tetap sama. Dokter menyarankan aku istirahat total selamanya. Langit seakan runtuh berguguran mengenai kepalaku. Angin berhenti bertiup. Takdir terlalu kejam  merenggut segalanya. Hidupku seumpama lentera yang diciptakan tanpa cahaya. Hampa dan membosankan menjalani setiap detik di ranjang Rumah Sakit dan menjalani terapi berjalan yang melelahkan. Seperti memulai hidup sebagai balita yang tertatih berjalan. Penerimaanku terhadap kenyataan lebih tertatih daripada langkah kakiku. Ada yang hilang dalam hidupku. Hilang semangat, hilang gairah untuk melanjutkan hidup ke depan, juga kehilangan cinta !!


      Bisikan Pandu di telingaku sebelum aku bertanding masih terngiang jelas dan tak mau pergi, “Lakukan yang terbaik, aku akan menunggu di garis finish…”. Kalimat itu terkadang terdengar lebih dahsyat dari bunyi alarm membangunkan tidurku yang tak lagi pulas. Kemana Pandu? Sejak aku membuka mata dari koma, sekalipun tak pernah lagi menampakkan wajahnya di hadapanku. Apakah dia benar benar menungguku di garis finish? Setelah melihatku terjatuh, masihkah dia tak beranjak dari sana? Apa kesetiannya telah tergadaikan dengan sesuatu yang lain? Hanya wartawan yang datang dan pergi silih berganti mengunjungi Rumah Sakit tempatku dirawat untuk mencari tahu keadaanku. Meskipun pihak Rumah Sakit sangat kooperatif menjaga keamanan dan kenyamanan pasiennya. Bahkan wartawan belum ada yang tahu kalau aku sudah pensiun dini sebagai atlet lari. Apakah Pandu tahu kabar ini? Tidakkah dia penasaran dengan kabarku? Tahukah Pandu bahwa kakiku pincang dan tidak mungkin bisa berlari?

      “Apakah Pandu pernah menjengukku ibu?” tanyaku pada ibu setelah menjalani terapi yang lebih menguras tenaga daripada berlari.

Ibu tersenyum dan berdalih dengan topik yang lain.

      “Lho kok yang ditanya cuma Pandu, sama ayah dan ibu tidak kangen? Kamu koma selama tiga minggu lho Cha dan ibu sangat rindu dengan manja manjamu…”

      Aku menghela nafas panjang dan menghempaskannya dengan kasar. Interpretasi dari jawaban ibu adalah Pandu tidak pernah datang menjengukku. Kenyataan baru yang harus aku terima, bahwa aku juga kehilangan kekasih. Lebih tepatnya aku juga kehilangan teman bermainku sedari masa kecil. Pandu, bukankah sebelum kita beranjak dewasa kita adalah teman masa kecil yang menyenangkan? Banyak kenangan tentang kamu dan masa kecil hingga masa dewasa yang terlalui bersama menumpuk dalam memoriku…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun