Mohon tunggu...
Aisyatul Fitriyah
Aisyatul Fitriyah Mohon Tunggu... -

mahasiswa ulul albab,berjiwa pancasila

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari 'Cha' untuk 'Nji'

7 November 2016   13:47 Diperbarui: 7 November 2016   13:53 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

# # #

      Akhirnya aku diizinkan pulang setelah berbulan bulan lamanya dibui di Rumah Sakit yang membuat psikis dan pikiranku juga sakit. Kata ayah dan ibu, aku berganti menjadi sosok yang lain. Mereka tak lagi mengenali anaknya sebagai Pancha yang bersemangat, ambisius, optimis, dan ramah. Menurut mereka emosiku menjadi labil dan sensitif. Pemarah, pendiam, tak mau bersosial dengan siapaun. Karena sejak kembali ke rumah aku lebih nyaman mengurung diri di kamar berteman sepi. Tak ingin berinteraksi dengan siapapun kecuali orangtuaku. Aku tidak mau melanjutkan kuliah meskipun nilai hasil UN-ku sangat bagus dan bisa menembus universitas terbaik di negeri ini. Akan tetapi belajar sendiri dan berteman setia dengan membaca buku adalah hobi baruku.

      Rasa rindu akan sensasi teriakan riuh penonton di Stadion ketika aku berkompetisi adalah candu yang selalu menghantui setiap detik. Rindu ketika pulang membawa piala dan berkalung medali kini hanya sebatas kenangan. Juga rindu peluk dan cium ibu ketika meraih juara yang takkan pernah lagi aku nikamati. Episode demi episode dari rangkaian memori itu silih berganti tayang di benakku. Menjadi seorang atlet lari sebenarnya adalah ambisi ayah dan ibu. Bukan bakat bawaan atau warisan turunan dari keduanya. Akan tetapi sejak kecil aku dikenalkan dengan olahraga lari dan dilatih dengan disiplin oleh mereka.

      Suatu kali ayah ke kamar mengajakku bermain golf di halaman belakang, “Cha, mau bermain golf bersama ayah? Nanti ayah ajarkan aturan permainannya. Wahh.., Pancha anak gadis ayah pasti bisa jadi jagoan berolahraga golf !!” ucap ayah dengan berbinar binar seraya merayu.

      Kemudian ibu juga muncul dari balik pintu, “Atau berenang sama ibu Cha…?” senyum rayuan ibu tak kalah dahsyat.

      “Maaf ayah, ibu, Pancha tidak tertarik !!” jawabku singkat.

      Ada mendung di raut wajah ibu dan ayah. Mendung yang menahan air di kelopak mata ibu. Ibu sanggup menahannya demi tidak menangis di hadapanku. Bukan airmata kecewa karena ajakannya kutolak, tapi... ayah dan ibu mengerti luka di hatiku belum sembuh. Belum pulih seutuhnya dengan sempurna.

      “Cha, ibu sangat merindukan celotehmu yang manja. Ibu merindukanmu yang dulu, anak ibu yang keras kepala dan disiplin. Ibu tidak sanggup dengan kesunyianmu begini” airmata ibu pecah dan berjatuhan di pipinya. “Bagaimana cara ibu membantu mengobati luka hatimu, nak? Katakan pada ibu !!”

      “Luka hati adalah luka abadi, ibu. Tidak dapat disembuhkan…” ucapku mengiba dan menggeliat manja.

      Pancha, anak gadis ibu yang manja sudah kembali, “Pancha ingin pergi jauh ke suatu tempat yang tak dapat ditemukan dengan wartawan atau orang orang yang mengenalku. Aku lelah dikejar kejar dengan wartawan ibu. Aku trauma bertemu dengan mereka”

      “Pergi kemana, nak?” ayah menimpali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun