Mohon tunggu...
Aisyatul Fitriyah
Aisyatul Fitriyah Mohon Tunggu... -

mahasiswa ulul albab,berjiwa pancasila

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari 'Cha' untuk 'Nji'

7 November 2016   13:47 Diperbarui: 7 November 2016   13:53 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

      Aku menghela napas, memasukkanya ke rongga dada kemudian melepasnya perlahan. Sebisa mungkin aku menahan agar tidak menangis di hadapannya. “Orangtuaku mengenalkan dunia olahraga lari padaku sejak kecil. Mereka berambisi agar aku menjadi atlet lari seperti mereka. Mereka menerapkan disiplin yang ketat dan didikan mereka berhasil. Aju sering menjuarai kompetisi olahraga lari di kotaku. Akhirnya aku mengalami kecelakaan fatal dan merampas semuanya…”

      Aku terisak perlahan bersamaan dengan airmata yang juga berguguran menggelinding di pikpiku. “Sejak kejadian yang menimpaku itu semuanya jadi berubah. Kaki kiriku yang awalnya baik baik saja menjadi…” aku tak sanggup melanjutkan kata kataku lagi.

      “Tuhan tidak mengambil semuanya, Cha. Hanya menyuruhmu istirahat dan menggantinya dengan bakat yang lain” matanya masih berbinar binar tulus ketika bahasa tangannya mengatakan padaku. “Manusia kadang posisinya di atas, dan jangan takut untuk menjalani hidup ketika berada di bawah” imbuhnya.

      “Tetapi Tuhan terlalu keras membantingku ke bawah, Nji” isakan tangisku semakin membunca. Airmataku semakin deras menganak sungai wajahku.

      “Jangan berburuk sangka dengan Tuhan”

      Panji tersenyum bijak menatapku. Aku juga menatapnya. Menyelami lebih dalam sorot matanya yang berbinar mengagumkan. Kemudian Panji malanjutkan, “Cha, aku Tuli sejak kecil. Aku tidak pernah mendengar suara ayah dan ibuku. Ketika ibu berbicara memberi nasihat aku hanya faham maksudnya tanpa mendengar ucapannya. Begitu pula ketika aku pulang sekolah masih main di sungai gebyuran bersama teman teman. Ibu pasti marah dan ngomel sepanjang hari, dan aku hanya faham maksudnya tanpa mendengar omelannya. Apa aku marah dan protes pada Tuhan? Apa aku berontak pada Tuhan?” matanya menatapku runcing kali ini.  Aku menunduk menghindari tatapannya. Melanjutkan isak tangis tanpa suara.

      “Jawabannya tidak Cha !! Bukan begitu caranya menghadapi hidup yang tak selalu berjalan sempurna. Bukankah kamu yang bilang bahwa manusia adalah wayang wayang yang diutus untuk menjalankan skenario Tuhan di bumi? Kamu juga yang bilang bahwa manusia itu lengkap dengan beragam keunikannya!” Panji menatapku lagi dengan senyumnya yang indah serta sorot matanya yang teduh.

      Nasihat Panji seperti tamparan keras yang mendarat di pipiku. Membuatku bangun dari kesurupan amarah yang membelitku selama bertahun tahun lamanya sejak kecelakaan yang kualami. Takdir tak mengizinkan aku berlari lagi, tapi memberiku pemahaman baru bahwa aku sangat kaya dengan orang orang yang sangat peduli padaku.

      “Jangan marah marah lagi yaa, Cha…!”

      Aku mengangguk.

      Beruntung Tuhan memberi kontrol emosi yang kuat bagiku sehingga aku tidak terlalu larut dengan suasana. Masih menyadari bahwa aku dan Panji bukan anak dibawah 10 tahun lagi. Bahwa kami sudah sama sama beranjak dewasa. Bahwa di daerah ini ada nilai dan norma yang mengatur pergaulan muda mudi di masyarakat yang jika dilanggar akan menjadi gunjingan masyarakat. Jika tidak, akan kurebahkan kepalaku di pangkuannya. Akan aku tuntaskan airmataku disana sampai habis agar tak ada lagi airmata ketika menjalani hari berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun