Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, serta Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Jin dan J-Hope Pulang dari Barak, KDM Kirim Anak ke Barak

13 Juni 2025   20:30 Diperbarui: 13 Juni 2025   19:56 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompas.com/hype/read/2025/06/10/081948766/sapa-penggemar-v-dan-rm-bts-selesai-jalani-wajib-militer

Dari Panggung ke Barak: BTS Tuntaskan Wamil, Bukti Kedisiplinan Kolektif

Bangtan Sonyeondan atau BTS bukan hanya sekadar boyband asal Korea Selatan yang mendunia, mereka adalah simbol kekuatan budaya yang mampu menjangkau jutaan hati di seluruh dunia. Ketika dua personelnya, Jin dan J-Hope, menyelesaikan masa wajib militer, publik internasional menyaksikan lebih dari sekadar peristiwa kembalinya idola ke panggung. Dunia melihat bagaimana Korea Selatan membuktikan komitmennya terhadap kesetaraan kewajiban warga negara tanpa memandang status atau ketenaran. Tak ada keistimewaan meski mereka mendatangkan triliunan won untuk perekonomian nasional. Sebaliknya, mereka tunduk dan menjalani pelatihan militer seperti warga sipil lainnya, bangun pagi, bersih-bersih barak, hingga latihan fisik berat di tengah suhu ekstrem.

Wajib militer di Korea Selatan bukan sekadar rutinitas, tetapi merupakan sistem pendidikan karakter yang sangat dihormati. Proses ini melatih para pemuda untuk menjadi pribadi yang disiplin, mandiri, dan memiliki rasa tanggung jawab tinggi terhadap negara. Jin, sang vokalis tertua, bahkan menjadi simbol teladan ketika ia lebih dahulu masuk wamil meski sedang berada di puncak ketenaran global. Sementara J-Hope, yang dikenal sebagai sosok enerjik dan flamboyan di atas panggung, menjelma menjadi prajurit yang patuh dan rendah hati selama masa tugasnya. Transformasi ini menunjukkan bahwa sistem wamil di Korea Selatan mampu mengolah energi muda menjadi kekuatan sosial yang berdaya guna. Dan yang lebih penting, mereka kembali bukan dengan kehilangan pesona, melainkan dengan menambah legitimasi moral di mata public, bahwa menjadi warga negara adalah kehormatan, bukan beban.

Dari Disiplin Kolektif ke Kebijakan Instan: Ketika Barak Jadi Tempat 'Cuci Dosa'

Sementara Korea Selatan membangun karakter bangsanya lewat sistem wajib militer yang mapan, di Indonesia kita justru menyaksikan pendekatan yang lebih bersifat spontan, reaktif, dan penuh efek kejut. Salah satu contohnya adalah kebijakan Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang belakangan ramai dibicarakan publik: anak-anak yang dianggap "nakal", baik karena keluyuran malam, melawan orang tua, hingga membuat gaduh di jalanan, dibawa masuk ke barak militer untuk mendapatkan "pembinaan karakter" selama satu hingga dua minggu. Kebijakan ini memang tampak tegas dan viral, bahkan disambut tepuk tangan oleh sebagian masyarakat yang lelah menghadapi kenakalan remaja. Namun benarkah ini solusi jangka panjang?

Mengirim anak-anak ke barak dengan harapan mereka menjadi disiplin dalam hitungan hari adalah pendekatan yang terlalu menyederhanakan masalah. Tanpa asesmen psikologis, tanpa pendampingan pendidikan yang berkelanjutan, dan tanpa keterlibatan institusi formal seperti sekolah dan keluarga, pembinaan itu rawan menjadi teatrikal semata. Lebih parah lagi, jika militer dijadikan alat pendekatan represif yang seolah-olah mampu "menyulap" remaja nakal menjadi anak baik dalam waktu semalam. Di sisi lain, barak bukanlah ruang rehabilitasi moral, apalagi jika tujuannya sekadar menakut-nakuti. Ini justru bertolak belakang dari semangat pembinaan karakter yang sejatinya dibangun atas dasar kesadaran, bukan paksaan. Ketika kebijakan pembentukan karakter lebih mirip konten sinetron edukasi, maka yang tumbuh bukan perubahan perilaku, melainkan trauma baru.

Karakter Bangsa Tak Lahir dari Ancaman, Tapi dari Komitmen Bersama

Korea Selatan membuktikan bahwa pendidikan karakter bukan sekadar retorika, melainkan sebuah kesepakatan kolektif yang ditanamkan lewat kebijakan konsisten dan keberanian untuk adil. Wajib militer di sana bukan hanya soal kewajiban melayani negara secara militer, melainkan cara negara mendewasakan rakyatnya, terutama generasi muda, agar tak hanya cakap dalam kecerdasan, tapi juga matang secara sosial dan emosional. Sistem ini disusun dengan pendekatan lintas sektor: dari Kementerian Pertahanan, lembaga pendidikan, hingga struktur sosial masyarakat, semuanya terintegrasi. Hasilnya bukan sekadar ketertiban, tapi identitas nasional yang kuat dan etos kerja yang tangguh. Bahkan, para idol seperti Jin dan J-Hope pun mengaku mendapat pelajaran hidup yang jauh lebih besar dari sekadar latihan fisik.

Di Indonesia, kita kerap tergoda mengambil jalan pintas. Bukannya menyusun sistem pembentukan karakter yang menyeluruh, kita justru memilih solusi jangka pendek yang viral, seperti mengirim anak bermasalah ke barak. Bukan berarti militansi itu keliru, tapi tanpa desain kebijakan yang rapi dan pelibatan multidisipliner, hasilnya hanya sementara. Kita butuh kurikulum karakter yang hidup, yang bukan hanya tertulis di RPP dan silabus sekolah, tapi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai seperti hormat pada orang tua, tanggung jawab, disiplin, dan kepedulian sosial tak bisa ditanam lewat bentakan atau barisan, tapi lewat proses yang mendalam, inklusif, dan konsisten. Karakter bangsa sejati lahir bukan karena takut dihukum, tapi karena merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya: bangsanya sendiri.

Belajar dari BTS dan Korea Selatan: Bangun Sistem, Bukan Sekadar Efek Kejut

Ketika Jin dan J-Hope pulang dari barak, mereka tidak hanya kembali sebagai selebritas papan atas. Mereka pulang sebagai simbol keberhasilan sistem: bahwa kedisiplinan, tanggung jawab, dan cinta tanah air bukanlah sesuatu yang hanya bisa diceramahkan, tetapi harus dijalani. Mereka adalah bukti bahwa karakter tidak dibentuk oleh status, tapi oleh proses. Wajib militer di Korea Selatan bukan hukuman, bukan pula alat peredam konflik sosial, melainkan sistem pendidikan karakter yang universal dan terukur. Tidak ada selebritas yang bisa lolos hanya karena popularitas, dan tidak ada warga biasa yang merasa dianaktirikan. Inilah keadilan sosial dalam pendidikan karakter: semua ikut, semua terlibat, semua merasakan dampaknya.

Indonesia bisa belajar banyak dari sini. Kita bukan tak punya sejarah bela negara, kita punya Pramuka, Paskibra, bahkan program Pancasila yang kaya nilai. Tapi yang kurang adalah kesungguhan menjadikannya sistem, bukan seremoni. Jika memang serius ingin membina generasi muda, maka sudah saatnya pemerintah merumuskan program pembinaan karakter nasional yang tidak temporer atau sekadar menumpang viral. Bisa dalam bentuk pelatihan bela negara sukarela, program kepemimpinan lintas sektor, atau penguatan kurikulum karakter yang dikawal dari SD hingga perguruan tinggi. Kita butuh komitmen antarlembaga, bukan konten TikTok. Butuh anggaran yang jelas, pelatih yang berkompeten, dan evaluasi yang terukur. Bukan sekadar kirim anak ke barak karena salah satu video mereka jadi sorotan netizen. Karakter tidak dibentuk dalam sorotan kamera, tapi dalam perjalanan panjang yang kadang sepi dari pujian.

Jangan Kirim Anak ke Barak, Kirim Mereka ke Sistem yang Bernurani

Jin dan J-Hope, dua anggota Bangtan Sonyeondan (BTS), telah pulang dari barak militer Korea Selatan dengan kepala tegak dan wibawa yang justru makin terpancar. Mereka tidak kehilangan status bintang dunia, justru menambah nilai di mata publik sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Di saat yang sama, Indonesia masih sibuk mencari jalan pintas membenahi krisis moral generasi muda dengan mengirim mereka ke barak selama satu hingga dua minggu, seolah-olah ketegasan bisa menggantikan sistem. Padahal, pendidikan karakter bukan perkara instan. Ia bukan makanan cepat saji yang bisa diselesaikan dalam hitungan malam, apalagi bila hanya dibungkus dengan pendekatan viral dan simbolik.

Yang dibutuhkan bangsa ini bukan lebih banyak barak, tapi lebih banyak keberanian membangun sistem. Bukan lebih banyak bentakan, tapi lebih banyak pelukan institusional yang membuat anak-anak merasa berarti. Pendidikan karakter bukan hanya soal menghindarkan anak dari kenakalan, tapi mengarahkan mereka untuk mengenali potensi, mencintai negeri, dan bertanggung jawab atas hidupnya. Untuk itu, negara harus hadir dengan sistem yang bernurani, yang mendidik, bukan menghukum; yang merangkul, bukan mengintimidasi. Kita harus berhenti melihat barak sebagai solusi, dan mulai melihatnya sebagai bagian dari sistem yang jauh lebih luas dan kompleks.

Jika ingin punya generasi yang hebat, jangan kirim mereka ke barak karena kita putus asa. Kirim mereka ke sistem yang percaya bahwa setiap anak punya masa depan, asal kita cukup sabar dan serius membangunnya. Seperti Korea Selatan dengan wajib militernya, Indonesia juga bisa. Tapi syaratnya satu: jangan cuma sibuk viral, mulailah sungguh-sungguh membangun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun