Ketika Jin dan J-Hope pulang dari barak, mereka tidak hanya kembali sebagai selebritas papan atas. Mereka pulang sebagai simbol keberhasilan sistem: bahwa kedisiplinan, tanggung jawab, dan cinta tanah air bukanlah sesuatu yang hanya bisa diceramahkan, tetapi harus dijalani. Mereka adalah bukti bahwa karakter tidak dibentuk oleh status, tapi oleh proses. Wajib militer di Korea Selatan bukan hukuman, bukan pula alat peredam konflik sosial, melainkan sistem pendidikan karakter yang universal dan terukur. Tidak ada selebritas yang bisa lolos hanya karena popularitas, dan tidak ada warga biasa yang merasa dianaktirikan. Inilah keadilan sosial dalam pendidikan karakter: semua ikut, semua terlibat, semua merasakan dampaknya.
Indonesia bisa belajar banyak dari sini. Kita bukan tak punya sejarah bela negara, kita punya Pramuka, Paskibra, bahkan program Pancasila yang kaya nilai. Tapi yang kurang adalah kesungguhan menjadikannya sistem, bukan seremoni. Jika memang serius ingin membina generasi muda, maka sudah saatnya pemerintah merumuskan program pembinaan karakter nasional yang tidak temporer atau sekadar menumpang viral. Bisa dalam bentuk pelatihan bela negara sukarela, program kepemimpinan lintas sektor, atau penguatan kurikulum karakter yang dikawal dari SD hingga perguruan tinggi. Kita butuh komitmen antarlembaga, bukan konten TikTok. Butuh anggaran yang jelas, pelatih yang berkompeten, dan evaluasi yang terukur. Bukan sekadar kirim anak ke barak karena salah satu video mereka jadi sorotan netizen. Karakter tidak dibentuk dalam sorotan kamera, tapi dalam perjalanan panjang yang kadang sepi dari pujian.
Jangan Kirim Anak ke Barak, Kirim Mereka ke Sistem yang Bernurani
Jin dan J-Hope, dua anggota Bangtan Sonyeondan (BTS), telah pulang dari barak militer Korea Selatan dengan kepala tegak dan wibawa yang justru makin terpancar. Mereka tidak kehilangan status bintang dunia, justru menambah nilai di mata publik sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Di saat yang sama, Indonesia masih sibuk mencari jalan pintas membenahi krisis moral generasi muda dengan mengirim mereka ke barak selama satu hingga dua minggu, seolah-olah ketegasan bisa menggantikan sistem. Padahal, pendidikan karakter bukan perkara instan. Ia bukan makanan cepat saji yang bisa diselesaikan dalam hitungan malam, apalagi bila hanya dibungkus dengan pendekatan viral dan simbolik.
Yang dibutuhkan bangsa ini bukan lebih banyak barak, tapi lebih banyak keberanian membangun sistem. Bukan lebih banyak bentakan, tapi lebih banyak pelukan institusional yang membuat anak-anak merasa berarti. Pendidikan karakter bukan hanya soal menghindarkan anak dari kenakalan, tapi mengarahkan mereka untuk mengenali potensi, mencintai negeri, dan bertanggung jawab atas hidupnya. Untuk itu, negara harus hadir dengan sistem yang bernurani, yang mendidik, bukan menghukum; yang merangkul, bukan mengintimidasi. Kita harus berhenti melihat barak sebagai solusi, dan mulai melihatnya sebagai bagian dari sistem yang jauh lebih luas dan kompleks.
Jika ingin punya generasi yang hebat, jangan kirim mereka ke barak karena kita putus asa. Kirim mereka ke sistem yang percaya bahwa setiap anak punya masa depan, asal kita cukup sabar dan serius membangunnya. Seperti Korea Selatan dengan wajib militernya, Indonesia juga bisa. Tapi syaratnya satu: jangan cuma sibuk viral, mulailah sungguh-sungguh membangun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI