Dari Panggung ke Barak: BTS Tuntaskan Wamil, Bukti Kedisiplinan Kolektif
Bangtan Sonyeondan atau BTS bukan hanya sekadar boyband asal Korea Selatan yang mendunia, mereka adalah simbol kekuatan budaya yang mampu menjangkau jutaan hati di seluruh dunia. Ketika dua personelnya, Jin dan J-Hope, menyelesaikan masa wajib militer, publik internasional menyaksikan lebih dari sekadar peristiwa kembalinya idola ke panggung. Dunia melihat bagaimana Korea Selatan membuktikan komitmennya terhadap kesetaraan kewajiban warga negara tanpa memandang status atau ketenaran. Tak ada keistimewaan meski mereka mendatangkan triliunan won untuk perekonomian nasional. Sebaliknya, mereka tunduk dan menjalani pelatihan militer seperti warga sipil lainnya, bangun pagi, bersih-bersih barak, hingga latihan fisik berat di tengah suhu ekstrem.
Wajib militer di Korea Selatan bukan sekadar rutinitas, tetapi merupakan sistem pendidikan karakter yang sangat dihormati. Proses ini melatih para pemuda untuk menjadi pribadi yang disiplin, mandiri, dan memiliki rasa tanggung jawab tinggi terhadap negara. Jin, sang vokalis tertua, bahkan menjadi simbol teladan ketika ia lebih dahulu masuk wamil meski sedang berada di puncak ketenaran global. Sementara J-Hope, yang dikenal sebagai sosok enerjik dan flamboyan di atas panggung, menjelma menjadi prajurit yang patuh dan rendah hati selama masa tugasnya. Transformasi ini menunjukkan bahwa sistem wamil di Korea Selatan mampu mengolah energi muda menjadi kekuatan sosial yang berdaya guna. Dan yang lebih penting, mereka kembali bukan dengan kehilangan pesona, melainkan dengan menambah legitimasi moral di mata public, bahwa menjadi warga negara adalah kehormatan, bukan beban.
Dari Disiplin Kolektif ke Kebijakan Instan: Ketika Barak Jadi Tempat 'Cuci Dosa'
Sementara Korea Selatan membangun karakter bangsanya lewat sistem wajib militer yang mapan, di Indonesia kita justru menyaksikan pendekatan yang lebih bersifat spontan, reaktif, dan penuh efek kejut. Salah satu contohnya adalah kebijakan Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang belakangan ramai dibicarakan publik: anak-anak yang dianggap "nakal", baik karena keluyuran malam, melawan orang tua, hingga membuat gaduh di jalanan, dibawa masuk ke barak militer untuk mendapatkan "pembinaan karakter" selama satu hingga dua minggu. Kebijakan ini memang tampak tegas dan viral, bahkan disambut tepuk tangan oleh sebagian masyarakat yang lelah menghadapi kenakalan remaja. Namun benarkah ini solusi jangka panjang?
Mengirim anak-anak ke barak dengan harapan mereka menjadi disiplin dalam hitungan hari adalah pendekatan yang terlalu menyederhanakan masalah. Tanpa asesmen psikologis, tanpa pendampingan pendidikan yang berkelanjutan, dan tanpa keterlibatan institusi formal seperti sekolah dan keluarga, pembinaan itu rawan menjadi teatrikal semata. Lebih parah lagi, jika militer dijadikan alat pendekatan represif yang seolah-olah mampu "menyulap" remaja nakal menjadi anak baik dalam waktu semalam. Di sisi lain, barak bukanlah ruang rehabilitasi moral, apalagi jika tujuannya sekadar menakut-nakuti. Ini justru bertolak belakang dari semangat pembinaan karakter yang sejatinya dibangun atas dasar kesadaran, bukan paksaan. Ketika kebijakan pembentukan karakter lebih mirip konten sinetron edukasi, maka yang tumbuh bukan perubahan perilaku, melainkan trauma baru.
Karakter Bangsa Tak Lahir dari Ancaman, Tapi dari Komitmen Bersama
Korea Selatan membuktikan bahwa pendidikan karakter bukan sekadar retorika, melainkan sebuah kesepakatan kolektif yang ditanamkan lewat kebijakan konsisten dan keberanian untuk adil. Wajib militer di sana bukan hanya soal kewajiban melayani negara secara militer, melainkan cara negara mendewasakan rakyatnya, terutama generasi muda, agar tak hanya cakap dalam kecerdasan, tapi juga matang secara sosial dan emosional. Sistem ini disusun dengan pendekatan lintas sektor: dari Kementerian Pertahanan, lembaga pendidikan, hingga struktur sosial masyarakat, semuanya terintegrasi. Hasilnya bukan sekadar ketertiban, tapi identitas nasional yang kuat dan etos kerja yang tangguh. Bahkan, para idol seperti Jin dan J-Hope pun mengaku mendapat pelajaran hidup yang jauh lebih besar dari sekadar latihan fisik.
Di Indonesia, kita kerap tergoda mengambil jalan pintas. Bukannya menyusun sistem pembentukan karakter yang menyeluruh, kita justru memilih solusi jangka pendek yang viral, seperti mengirim anak bermasalah ke barak. Bukan berarti militansi itu keliru, tapi tanpa desain kebijakan yang rapi dan pelibatan multidisipliner, hasilnya hanya sementara. Kita butuh kurikulum karakter yang hidup, yang bukan hanya tertulis di RPP dan silabus sekolah, tapi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai seperti hormat pada orang tua, tanggung jawab, disiplin, dan kepedulian sosial tak bisa ditanam lewat bentakan atau barisan, tapi lewat proses yang mendalam, inklusif, dan konsisten. Karakter bangsa sejati lahir bukan karena takut dihukum, tapi karena merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya: bangsanya sendiri.
Belajar dari BTS dan Korea Selatan: Bangun Sistem, Bukan Sekadar Efek Kejut