Ketika satu menteri datang menggantikan yang lain, rasa skeptis publik tak bisa disalahkan. Terlalu sering perubahan itu bukanlah transformasi, melainkan reset tanpa arah yang jelas. Tetapi kehadiran Prof Abe membawa nuansa berbeda. Ia tak datang dengan ambisi kosmetik, tetapi dengan tawaran gagasan yang menyentuh inti: deep learning sebagai jalan membenahi cara kita memahami belajar. Bukan sekadar soal kurikulum atau modul baru, melainkan sebuah upaya membentuk cara berpikir baru, bahwa belajar seharusnya menumbuhkan daya pikir, bukan hanya daya ingat.
Di tengah dunia yang bergerak cepat karena teknologi, pendidikan tidak boleh lagi berpijak pada pola lama. Dunia kerja berubah, tantangan sosial makin kompleks, dan kecerdasan buatan mulai mengambil alih peran-peran lama. Maka satu-satunya yang bisa diandalkan dari manusia adalah kedalamannya, dalam berpikir, dalam memahami, dalam berkreasi. Di sinilah deep learning menjadi sangat relevan. Ia bukan sekadar metode, tetapi fondasi cara manusia bertumbuh di tengah ketidakpastian zaman.
Prof Abe telah meletakkan cetak biru yang menjanjikan: bahwa pendidikan Indonesia bisa bergerak dari hafalan menuju pemahaman, dari pengajaran menuju pembelajaran, dari target menuju proses. Namun jalan panjang ini tidak bisa dilalui sendirian. Ia membutuhkan kepercayaan, kolaborasi, dan ketekunan dari semua pihak, guru, orang tua, pembuat kebijakan, dan tentu saja para siswa. Jika semua elemen ekosistem pendidikan berani melangkah bersama dalam kesadaran yang sama, maka deep learning tak sekadar jadi jargon baru dalam daftar panjang reformasi pendidikan. Ia akan menjadi nyawa baru dalam sistem belajar yang benar-benar memerdekakan dan menyiapkan anak-anak Indonesia untuk masa depan yang tak sekadar datang, tapi menantang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI