Mohon tunggu...
Ainur Rohman
Ainur Rohman Mohon Tunggu... Nelayan - Pengepul kisah kilat

Generasi pesisir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Sengaja Jadi Penagih Utang

1 Januari 2019   23:09 Diperbarui: 1 Januari 2019   23:25 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika badan sedang mencari posisi terbaik untuk bernafas dan sedikit selonjoran. Ibu penjual nasi Boran datang menghampiriku. Sedikitpun aku tidak curiga, bahkan tidak punya firasat apapun. Tak ada angin kencang, tak ada deras hujan, tak ada petir yang bersahut-sahutan. Dan jalan raya yang menampung hiruk pikuk segala macam moda transportasi malam itu tak menampilkan insiden yang berarti, tak ada tragedi yang menyita perhatian publik. Semua berjalan lancar, tak ada hambatan. Semua yang terasa, terdengar, dan yang tampak di mata terlihat normal-normal saja.

Hingga akhirnya suara keberanian Ibu penjual nasi Boran itu menyeruak sebagaimana kentut yang tak bisa dipendam lebih lama lagi. Mulutnya mulai terbuka dengan raut wajah memelas bercampur dengan ragu-ragu.

"Nak, sampekno ne juragan ne sampean, bok menowo wonge lali. Wonge tau tuku sego 15 bungkus hurung tik bayar. Saktus seket, Nak... Duit sakmono iku ake, Nak..." Ujar ibu penjual nasi Boran dengan mengiba, memohon dan berharap.

Aku terkejut, gendang telingaku tak siap dengan ucapan Ibu penjual nasi Boran yang baru saja terdengar dan akal sehat ini seakan masih tak percaya, "Ada apa lagi ini?" guman batinku bertanya-tanya.

Mendengar curhatan Ibu penjual nasi Boran itu, aku langsung teringat sama tetua. karena ia satu-satunya juraganku. Meskipun ada rasa rada aneh. Dan pikiranku mengatakan, "Rasanya gak mungkin, tetua sampai lupa untuk hal yang prinsipil seperti ini."

"Wak Kaji to, Bu?..." Jawabku untuk mengkonfirmasi ulang.

"Ora Nak!... Nek wak kaji kulo kenal. Bojone nggih kulo kenal. Juragan ne sampean seng liyane, seng gedi duwur iku loh! Nak..." Jelas Ibu penjual nasi Boran itu dengan cermat.

Aku berpikir sejenak, kemudian menyalakan gawai dan membuka aplikasi WhatsApp dan mencari nama seseorang, sudah ketemu dan foto profil orang itu aku perlihatkan ke Ibu tadi.

"Wong iki to, Bu?..." Tanyaku.

"Hiyo Nak... Wong iki." Jawab Ibu penjual nasi Boran tadi dengan telunjuk jari yang menuding pada gambar foto yang aku tunjukkan. Hatinya lega, sumringah, penuh pengharapan, seakan-akan beban kehilangan itu sudah dapat kepastian, dan akan muncul kembali.

"Nggih Bu... Sekedap kulo sanjangi tiyange." Jawabku sambil menahan geram dan marah kepada orang yang dimaksud Ibu penjual nasi Boran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun