Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tak Sengaja Jadi Penagih Utang

1 Januari 2019   23:09 Diperbarui: 1 Januari 2019   23:25 177 0
Laki-laki itu merasakan sesuatu yang tidak nyaman, gusar, antara yakin dan tak yakin, terjebak dalam situasi yang tidak lazim. Malam itu selepas kumandang adzan Isya'. Rabu (26/12/2018). Guyuran air hujan di akhir bulan Desember yang menerjang desa Paciran semakin menjadi-jadi, begitu juga angin kencang dan juga kilat. Sudah dua hari ia terserang flu, demam dan sedikit batuk-batuk, dengan bonus sakit kepala yang mudah sekali kambuh, pening, hingga mata bengkak.

Pikiran laki-laki itu tak tenang, ia merasa ada sebuah dorongan dari luar yang menyeret-nyeret tubuhnya untuk bergerak keluar dari sarang (baca: rumah). Dan semakin ia menolak dan menahan dorongan itu perasaanya semakin tak jenak. Ia resah sekaligus bimbang. Ia merasa sebal jika harus menuruti dorongan itu dan lebih-lebih kesal lagi jika turut melakukan arahannya. Arahan dan panggilan yang ia tidak tahu dari mana.

Dalam situasi pikiran yang tidak tenang seperti ini, biasanya, aku mencari kawan untuk kuajak makan atau ngopi berdua, minimal ada kawan yang mau menampung keluh kesahku, atau minimal ada kawan yang mau memberi peringatan tanda bahaya, jika aku berbuat sesuatu di luar kontrol. Begitu pikir pendekku.

Malam itu, aku menghubungi kawan Dendi lewat telepon genggam, rencananya sederhana. Aku mengajak kawan yang satu ini untuk ngopi, awalnya kawan Dendi menolak ajakanku, karena dia sedang merajang air untuk masak mie instan. Aku memberinya saran untuk mematikan kompor dan berganti cari menu makan di luar. Dan di luar dugaanku dia bersedia mematikan kompor dan bersedia diajak makan di luar rumah.

Tak ingin menunda-nunda kesempatan. Aku bergegas keluar, pintu rumah sudah aku kunci. Dengan sepeda motor aku menghampiri kawan Dendi di depan rumahnya, dan sejurus kemudian dengan gerakan cepat yang elegan kawan Dendi sudah duduk di jok belakang sepeda motor.

Malam itu, Tubuhku bergerak bukan kehendak hati dan pikiran, dan aku seakan menyaksikan diriku sendiri dari luar batas tembok bening yang tidak bisa ditembus. Sialan.

Laju sepeda motor bergerak ke arah timur dengan kecepatan semampunya, tidak pelan juga tidak pantas dibilang ngebut. Di saat yang bersamaan aku belum punya tujuan untuk cari makan dimana? Begitu juga dengan kawan Dendi. (sepertinya ia sedang menggunakan taktik asal manut) Di atas sepeda motor, lidah ini terbuai oleh kenangan yang datang sekelebat, kenangan akal pikiranku teringat dengan warung lesehan nasi Boran yang ada di depan terminal Tunggul. Kecamatan Paciran.

Di atas sepeda motor aku menyarankan kepada Dendi untuk makan nasi Boran di terminal Tunggul, kawan Dendi setuju. Kini roda sepeda motor berputar tak lagi bimbang sebab ia sudah punya tujuan akhir. Dan Aku bersyukur untuk hal itu.

Tak berapa lama kami sudah sampai di tujuan. Segera kawan Dendi memesan dua porsi dengan lauk dan sayur yang sama. Duduk di posisi lain, aku melihat seorang laki-laki paruh baya dengan suara cadelnya, orang yang selama ini ingin aku temui. Dia sudah selesai makan. Darinya aku ingin mendapatkan informasi sekaligus mengkonfirmasi kejelasan suatu persoalan yang teramat penting dan krusial.

Seperti sebuah keberuntungan yang beruntun, aku bisa ketemu orang itu, satu malam yang aku rasakan sungguh-sungguh ajaib, bisa dikatakan aku cukup beruntung malam itu. Aku mendapatkan informasi yang diperlukan dari laki-laki itu dan aku juga sekaligus mengkonfirmasi suatu kejadian kepadanya, keterangan yang diberikan sudah lebih dari cukup untuk verifikasi data yang selama ini aku terima. Kala itu aku belum menyadari kenapa tubuhku diseret-seret ke sini.

Selesai urusan dengan laki-laki paruh baya itu, aku melanjutkan makan nasi Boran. Dengan lahap dan cepat. Satu porsi nasi Boran telah rela berpisah dari piring dan lebih memilih bersemayam di dalam perut buncitku.

Ketika badan sedang mencari posisi terbaik untuk bernafas dan sedikit selonjoran. Ibu penjual nasi Boran datang menghampiriku. Sedikitpun aku tidak curiga, bahkan tidak punya firasat apapun. Tak ada angin kencang, tak ada deras hujan, tak ada petir yang bersahut-sahutan. Dan jalan raya yang menampung hiruk pikuk segala macam moda transportasi malam itu tak menampilkan insiden yang berarti, tak ada tragedi yang menyita perhatian publik. Semua berjalan lancar, tak ada hambatan. Semua yang terasa, terdengar, dan yang tampak di mata terlihat normal-normal saja.

Hingga akhirnya suara keberanian Ibu penjual nasi Boran itu menyeruak sebagaimana kentut yang tak bisa dipendam lebih lama lagi. Mulutnya mulai terbuka dengan raut wajah memelas bercampur dengan ragu-ragu.

"Nak, sampekno ne juragan ne sampean, bok menowo wonge lali. Wonge tau tuku sego 15 bungkus hurung tik bayar. Saktus seket, Nak... Duit sakmono iku ake, Nak..." Ujar ibu penjual nasi Boran dengan mengiba, memohon dan berharap.

Aku terkejut, gendang telingaku tak siap dengan ucapan Ibu penjual nasi Boran yang baru saja terdengar dan akal sehat ini seakan masih tak percaya, "Ada apa lagi ini?" guman batinku bertanya-tanya.

Mendengar curhatan Ibu penjual nasi Boran itu, aku langsung teringat sama tetua. karena ia satu-satunya juraganku. Meskipun ada rasa rada aneh. Dan pikiranku mengatakan, "Rasanya gak mungkin, tetua sampai lupa untuk hal yang prinsipil seperti ini."

"Wak Kaji to, Bu?..." Jawabku untuk mengkonfirmasi ulang.

"Ora Nak!... Nek wak kaji kulo kenal. Bojone nggih kulo kenal. Juragan ne sampean seng liyane, seng gedi duwur iku loh! Nak..." Jelas Ibu penjual nasi Boran itu dengan cermat.

Aku berpikir sejenak, kemudian menyalakan gawai dan membuka aplikasi WhatsApp dan mencari nama seseorang, sudah ketemu dan foto profil orang itu aku perlihatkan ke Ibu tadi.

"Wong iki to, Bu?..." Tanyaku.

"Hiyo Nak... Wong iki." Jawab Ibu penjual nasi Boran tadi dengan telunjuk jari yang menuding pada gambar foto yang aku tunjukkan. Hatinya lega, sumringah, penuh pengharapan, seakan-akan beban kehilangan itu sudah dapat kepastian, dan akan muncul kembali.

"Nggih Bu... Sekedap kulo sanjangi tiyange." Jawabku sambil menahan geram dan marah kepada orang yang dimaksud Ibu penjual nasi Boran.

Melalui pesan singkat aku mengkonfirmasi dakwaan Ibu tadi ke tersangka, dan ia mau mengakuinya. Aku bersyukur karena ia mau mengaku dan lebih bersyukur lagi karena ia hendak membayar hutangnya kepada Ibu penjual nasi Boran.

Informasi itu aku teruskan ke Ibu penjual nasi Boran, dan guratan wajahnya kembali berseri-seri, dan kemudian tersenyum lega. Karena sudah mendapatkan kejelasan yang pasti.

Lantas timbul rasa penasaran dalam pikiranku. Kenapa drama seperti itu masih bisa terjadi.

"Kawitan'ne piye to, Bu, kok iso tik utangi sego 15 bungkus? Sampean kok yo gelem tik utangi wong iku." tanyaku beruntun.

"Biasane wonge bungkus sego, Nak!... Kawitan'ne bungkus Limo. Bayarre yo enak. Liyo dino, bungkus Pitu. Bayarre yo genah." curhat Ibu tadi sambil melayani pembeli.

"Liyo dino mane, tuku sego Limolas bungkus. Ngomonge dompette kari. Kulo nggih percoyo mawon, wong biasane bungkus sego teng mriki. Lah mari ngono, wonge ora tau mampir rene, Nak!... Sampek wes rong ulan luwe. Ibu nggih kuwatir, engko nang wonge lali." lanjut ibu tadi dengan tersenyum getir.

"Engko wonge rene kok, Bu..." jawabku menenangkan meski tak yakin.

"Nggih Nak... Matur suwun. Aku yo gelek wero sampean lewat loh, Nak... Pas lewat ngetan, mboh pas lewat ngulan. Wes suwi tak arep-arep kok ora tau mampir rene. Ape takok ne sampean?" ujar Ibu penjual nasi Boran dengan mimik penuh penghayatan.

"Oh... ngono to, Bu..." balasku persis orang linglung, seperti orang yang baru sadar dari mimpi.

Selesai membayar nasi Boran yang kami santap, aku pamit ke Ibu tadi, dan mengajak kawan Dendi untuk ngopi di depan Lintech.

Di warung kopi aku mendapat pesan singkat dari tersangka yang terjerat hutang jalanan tadi, dia kirim gambar fotonya sendiri dengan pose menghadap ke Ibu penjual nasi Boran. Ada gambaran yang sangat dipaksakan dan itu hanya dilakukan oleh orang yang tergesa-gesa. Sepertinya dia benar-benar sudah mendatangi Warung nasi Boran itu. "Kok cepat ya?" tanyaku, masih meragukan kecepatan responnya.

Keesokan harinya, aku baru teringat dari kesadaran. "Jancuk! jeketek, aku disuruh dan didorong-dorong panggilan itu agar bergegas keluar rumah hanya untuk nagih utang ke orang brengsek itu. Jampuut." pikirku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun