“Kami sudah melakukan yang terbaik. Bila obat yang kami suntikkan sepuluh menit lalu membuat dia membaik bearti ia akan baik-baik saja.” Mamamu mengangguk pasrah. Aku menjambak rambut gondrongku. Ah, dulu kau selalu cerewet masalah penampilanku.
Satu jam, tiga jam berlalu. Dokter tidak memberi kabar terbarumu, mamamu entah menjauh -menelpon seseorang mungkin saja ayahmu. Seorang suster masuk ke ruangmu, pintu terbuka sedikit. Mataku menangkap tubuhmu yang dililit delapan atau sembilan belalai.
“Nona Girl sadar, ia mencari Anda dan Theo, Nyonya.” Demi mendengar kalimat itu tanpa berpikir dua kali aku dan mamamu masuk. Girl, kau kah itu? Cantik nian kau meski tubuhmu semakin kurus. Senyum itu, aku merindukanmu. Mata lebarmu mengerjap pelan, tersenyum. Kau tidak bisa melihat, fakta itu aku dengar dari mamamu sendiri.
Sungguh, aku tidak dapat menahan airmata ini. Biarlah aku letakkan sejenak kodratku sebagai laki-laki. Tangisku semakin deras saat matamu menutup perlahan kemudian nafasmu menghilang bersama angin yang melintas. Kau pergi selamanya.
“Kau harus tetap tegar seperti dandelion, Theo. Aku yakin semangatmu tidak akan pudar.” Itu yang kau ucapkan beberapa hari sebelum penyakit ganas itu merenggut nyawamu.
Tak perlu kau mengerti, Girl. Lihatlah! Pekarangan rumahku penuh oleh dandelion, tidak terasa ini tahun ke sepuluh kepergianmu dan aku bisa mewujudkan keyakinanmu itu.
“Mas Theo, penerbangan ke Swedia kurang sejam lagi.” Aku mengangguk.
Selamat pagi, Girl. Maaf aku tidak bisa mengunjungimu selama lima belas hari ke depan.