Astaga, Girl. Kau tertawa. Tawa yang harus dibayar dengan darah yang keluar bersama dahak.
“Kau?” kau menggeleng, tidak apa-apa. Cekatan sekali mengeluarkan tisu untuk menghapus sisa darah di tepi bibirmu.
Malam kian dingin. Suster memanggilmu masuk, saatnya kau istirahat. Aku enggan melepas kepergianmu saat itu, ada rasa aneh yang menjalar di pikiranku. Aku menggeleng kuat, tidak akan terjadi. Dokter mengatakan kau mampu bertahan hingga empat bulan lagi. Mamamu tersenyum penuh pengharapan padaku, mendekatiku.
“Terimakasih, Theo.” Mamamu menepuk bahuku.
“Semoga keajaiban Tuhan datang.”
Angin malam semakin mencekam. Aku merapatkan jaket hitam yang membungkus tubuh. Girl, apa kabarmu?
“Theo.” Aku menoleh.
“Girl pasti sedih melihat keadaanmu yang seperti ini.”
Baiklah aku akan pulang malam ini, Girl. Tapi aku akan datang lagi besok malam, besoknya lagi, dan seterusnya. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menghilangkan tentangmu seincipun.
Sebelum aku pulang seperti biasa tanganku memetik setangkai dandelion kemudian meniupi kelopaknya. Mereka terlepas dan terhempas sama denganku. Selamat malam, Girl.
“Nona Girl tidak sadarkan diri, Nyonya.” Perbincangan mamamu dan dokter menohok hatiku. Mungkinkah? Aku menggeleng. Kau tidak akan pergi.