Mohon tunggu...
Nana Suúd
Nana Suúd Mohon Tunggu... Mahasiswa - Tertarik pada Literasi Sastra

Pelajar, dan santri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Taman Dandelion

22 April 2017   11:09 Diperbarui: 22 April 2017   20:00 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

..... Tahukah engkau, sayang? Bunga kecil berwarna putih yang bila ditiup maka kelopaknya akan terbang menjauh. Menuju suatu tempat yang tidak pernah ia kunjungi sama sekali. Lantas ia akan jatuh kemudian tertimpa rintik hujan dan panas hingga tumbuh tunas-tunas baru....

Entah sudah berapa lama aku duduk diam tanpa kata di sini, Menatap peri peri kecil yang menari kian ingatkan aku pada senyum gadis yang amat aku rindukan. Kau begitu juga kan, Girl? Sudah berapa lama kau tak di sini bersamaku? Menyambangi dandelion-dandelion yang menjadi kenangan kita. Aku tahu, kau pasti ingin melihatku tetap kuat seperti dandelion meski takdir membuat ia melalangbuana ke negeri antah berantah.

Namun sejujurnya aku tidak mampu seperti yang kau inginkan tanpamu, Girl. Bukankah kelopak itu adalah aku dan kau adalah tunas barunya?

 “Selamat ulangtahun, Theo.” Ah, itukah kau, Girl?

Aku menoleh antusias kemudian menghela nafas pelan. Tidak, kau tidak akan datang lagi kesini.

“Sudah kuduga kau akan kesini.” Seseorang duduk disebelahku, “Bukankah ini sudah tahun ke empat?” aku mengangguk tanpa menoleh.


Girl, mengertikah kau tentang keadaanku disini? Terhempas dan terlepas oleh takdir Tuhan. Ah, tidak sepantasnya aku menyalahkan Tuhan. Kau dulu tersenyum saat wajahku pias mengetahui apa yang terjadi dengan dirimu.

 “Theo, suatu saat kau juga akan mengalami ini.” Girl, kau justeru tersenyum mengatakannya.

“Itu terlalu cepat, Girl.” Aku termangu.

“Bukankah aku mengatakannya sejak enam bulan lalu?”

Aku mengangguk, “Kupikir kau bercanda.”

Astaga, Girl. Kau tertawa. Tawa yang harus dibayar dengan darah yang keluar bersama dahak.

 “Kau?” kau menggeleng, tidak apa-apa. Cekatan sekali mengeluarkan tisu untuk menghapus sisa darah di tepi bibirmu.

Malam kian dingin. Suster memanggilmu masuk, saatnya kau istirahat. Aku enggan melepas kepergianmu saat itu, ada rasa aneh yang menjalar di pikiranku. Aku menggeleng kuat, tidak akan terjadi. Dokter mengatakan kau mampu bertahan hingga empat bulan lagi. Mamamu tersenyum penuh pengharapan padaku, mendekatiku.

“Terimakasih, Theo.” Mamamu menepuk bahuku.

 “Semoga keajaiban Tuhan datang.”

Angin malam semakin mencekam. Aku merapatkan jaket hitam yang membungkus tubuh. Girl, apa kabarmu?

“Theo.” Aku menoleh.

 “Girl pasti sedih melihat keadaanmu yang seperti ini.”

Baiklah aku akan pulang malam ini, Girl. Tapi aku akan datang lagi besok malam, besoknya lagi, dan seterusnya. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menghilangkan tentangmu seincipun.

Sebelum aku pulang seperti biasa tanganku memetik setangkai dandelion kemudian meniupi kelopaknya. Mereka terlepas dan terhempas sama denganku. Selamat malam, Girl.

 “Nona Girl tidak sadarkan diri, Nyonya.” Perbincangan mamamu dan dokter menohok hatiku. Mungkinkah? Aku menggeleng. Kau tidak akan pergi.

 “Kami sudah melakukan yang terbaik. Bila obat yang kami suntikkan sepuluh menit lalu membuat dia membaik bearti ia akan baik-baik saja.” Mamamu mengangguk pasrah. Aku menjambak rambut gondrongku. Ah, dulu kau selalu cerewet masalah penampilanku.

Satu jam, tiga jam berlalu. Dokter tidak memberi kabar terbarumu, mamamu entah menjauh -menelpon seseorang mungkin saja ayahmu. Seorang suster masuk ke ruangmu, pintu terbuka sedikit. Mataku menangkap tubuhmu yang dililit delapan atau sembilan belalai.

“Nona Girl sadar, ia mencari Anda dan Theo, Nyonya.” Demi mendengar kalimat itu tanpa berpikir dua kali aku dan mamamu masuk. Girl, kau kah itu? Cantik nian kau meski tubuhmu semakin kurus. Senyum itu, aku merindukanmu. Mata lebarmu mengerjap pelan, tersenyum. Kau tidak bisa melihat, fakta itu aku dengar dari mamamu sendiri.

Sungguh, aku tidak dapat menahan airmata ini. Biarlah aku letakkan sejenak kodratku sebagai laki-laki. Tangisku semakin deras saat matamu menutup perlahan kemudian nafasmu menghilang bersama angin yang melintas. Kau pergi selamanya.

 “Kau harus tetap tegar seperti dandelion, Theo. Aku yakin semangatmu tidak akan pudar.” Itu yang kau ucapkan beberapa hari sebelum penyakit ganas itu merenggut nyawamu.

 Tak perlu kau mengerti, Girl. Lihatlah! Pekarangan rumahku penuh oleh dandelion, tidak terasa ini tahun ke sepuluh kepergianmu dan aku bisa mewujudkan keyakinanmu itu.

 “Mas Theo, penerbangan ke Swedia kurang sejam lagi.” Aku mengangguk.

Selamat pagi, Girl. Maaf aku tidak bisa mengunjungimu selama lima belas hari ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun