Pukul 20.05 WITA. Dare baru saja memasuki sebuah restoran mewah. Sesuai dengan permintaan rekan bisnisnya, malam ini dia mengenakan pakaian semi formal. Setelan kemeja merah yang dilipat lengannya hingga ke siku dipadukan dengan celana jeans kesayangannya.
"Maaf saya terlambat. Nggak biasanya Bali macet separah ini!"
Andika menggeleng dan mempersilahkan Dare untuk duduk. Dare yang hanya melihat kehadiran Andika seorang diri akhirnya bersuara. "Apa tunanganmu masih sibuk?"
"Tentu tidak. Dia sedang ke toilet."
Sepuluh menit berlalu, seorang wanita datang menghampiri mereka. Andika meraih tangannya dan tersenyum lebar.
"Nimas, kenalkan ini Dare. Dia seniman yang akan kerjasama di proyek baru denganku. Teman yang aku ceritakan padamu." Andika terlampau senang karena akhirnya berhasil mengenalkan dua orang yang disayanginya satu sama lain, sehingga tidak mampu menyadari hawa kecanggungan yang muncul di antara Nimas dan Dare. Meski begitu, keduanya tetap berjabat tangan, saling memperkenalkan nama seperti baru bertemu pertama kali.
Pukul 23.20 WITA. Dare duduk di balkon lantai dua rumahnya. Kepulan asap rokok yang mengudara mendampinginya mengenang kejadian lima tahun silam. Dia meluruskan kaki kirinya, menarik jeansnya setinggi lutut, menampakkan benda yang selama ini menopang tubuhnya, kaki palsu.
Kecelakaan motor di masa lalu memaksa Dare yang berusia 24 tahun saat itu untuk terbiasa hidup dengan satu kaki. Dia pun harus merelakan impian hidup bersama kekasihnya karena perempuan yang dicintai dengan sepenuh hati memilih pergi dari kehidupannya. Danau tempat mereka merajut kasih menjadi saksi perpisahan sepihak di antara mereka. Kekasihnya menghilang tanpa kabar apa pun. Hingga malam ini ia kembali berjumpa dengan pemilik hatinya. Bukan lagi sebagai kekasih, tapi Nimas sebagai tunangan orang lain.
"Nimas?" Dare terkejut melihat kehadiran sang mantan tepat saat ia melepas kaki palsu.
"Aku sempat ragu kalau rekan bisnis Andika  adalah kamu, karena laki-laki yang kutemui semalam berjalan dengan normal. Ternyata benda itu yang menolongmu agar tidak terlihat seperti orang cacat." Nimas menunjuk kaki palsu Dare dengan lirikan mata.
Dare tersenyum getir. "Ada perlu apa datang kesini?" tanyanya. Ia enggan beradu pandang dengan Nimas.