Pola serupa tampak di London 2011. Penembakan Mark Duggan memicu kerusuhan. Duggan seorang pria kulit hitam. Ujungnya, deretan toko jadi sasaran vandalisme (Wikipedia Indonesia). Penjarahan berfungsi sebagai hukuman tanpa mandat.
Tentu tidak semua penjarahan lahir dari protes politik. Banyak yang murni oportunisme. Motif ekonominya sederhana dan pragmatis.
Begitu hukum dan ketertiban ambruk, orang mengambil kesempatan. Ada yang mengejar barang mewah, ada yang memburu kebutuhan. Batas antara protes dan kriminalitas mudah sekali saling menyeberang.
Ada pula penjarahan yang berjalan dengan restu diam-diam. Kerusuhan 1998 di Indonesia jadi contoh. Arah amuk massa bergeser ke etnis Tionghoa. Aparat keamanan pasif (Jurnal Heuristik).
Indikasi provokator terorganisir kuat terasa. Kekerasan dimanipulasi elite politik yang sedang berebut kuasa di dalam. Sudut pandang ini menaruh tanggung jawab pada negara.
Kisah lain muncul saat Revolusi Mesir 2011. Museum Mesir di dekat Tahrir Square dibobol. Dua mumi dilaporkan hancur (Museum Mesir).
Massa juga merangsek ke kantor SSI (Tempo.co), badan intelijen keamanan negara. Mereka memburu dokumen, bukan harta.
Dokumen-dokumen itu membuka praktik korupsi rezim. Kecurigaan adanya polisi berpakaian preman menguat.
Tujuannya diduga untuk menciptakan kekacauan di jalan. Penjarahan, dalam kasus seperti ini, bisa digerakkan kekuatan yang tak tampak.
Ada momen ketika sasarannya bukan barang, melainkan simbol. Sri Lanka pada Juli 2022 misalnya. Warga yang muak menduduki Istana Kepresidenan. Mereka berenang di kolam, bahkan tidur di kamar mewah presiden (Kompas.com).
Mereka tidak mencuri. Ini sering disebut penjarahan sosial yang bersifat simbolik. Pesan utamanya: kemewahan rezim itu dibayar dari uang publik. Aksi simbolik itu tak terbendung. Presiden Rajapaksa akhirnya mundur.