Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anatomi Penjarahan: Cermin Sosial, Politik, dan Kegagalan Menjaga Ketertiban

9 Oktober 2025   01:00 Diperbarui: 28 September 2025   18:17 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah mewah milik Anggota DPR RI di Jakarta Utara, digeruduk massa pada (30/8/2025). (TRIBUNJAKARTA.com/Gerald Leonardo Agustino via Kompas.com)

Selama ini penjarahan sering dipersempit jadi kejahatan yang memanfaatkan situasi. Nyatanya, ia juga memantulkan retak sosial yang lebih dalam (History.com) dan menyingkap bolongnya sistem negara.

Mengambil properti bukan semata urusan barang. Itu cara berkomunikasi yang dipaksakan.

Massa memakai kekerasan sebagai alat politik. Pesannya keras, dan hampir selalu sampai.

Penjarahan kerap jadi penanda awal. Ia mengisyaratkan perebutan kendali atas kekuasaan.

Sejarah menunjukkan penjarahan punya banyak rupa. Di masa Romawi, ia tampil sebagai ritual kemenangan. Kekuasaan justru melegalkannya.

Jenderal Titus menaklukkan Yerusalem pada tahun 70 M, lalu membawa pulang artefak suci. Menorah ikut diangkut.

Tindakan ini dipamerkan sebagai bukti kejayaan, diabadikan pada Arch of Titus (Warfare History Network). Ini contoh penjarahan yang diatur dari atas.

Masuk ke era kolonial, sifatnya berubah menjadi mesin ekstraksi. Kekayaan alam dikeruk bangsa Eropa, artefak budaya ikut disapu. Bahkan mumi dari negeri jajahan.

Tujuannya bukan sekadar menumpuk harta, tetapi juga mengikis identitas (Tirto.id). Museum-museum besar Eropa kini menyimpan tumpukan barang rampasan. Wacana repatriasi artefak pun jadi perdebatan serius.

Penjarahan sipil membawa makna lain lagi. Ia tumbuh dari penumpukan kekecewaan. Lihat Los Angeles 1992.

Ledakannya adalah respons atas ketidakadilan rasial di Amerika Serikat, pecah setelah para polisi yang memukuli Rodney King dibebaskan (History.com). Penjarahan meluas saat ketertiban runtuh.

Pola serupa tampak di London 2011. Penembakan Mark Duggan memicu kerusuhan. Duggan seorang pria kulit hitam. Ujungnya, deretan toko jadi sasaran vandalisme (Wikipedia Indonesia). Penjarahan berfungsi sebagai hukuman tanpa mandat.

Tentu tidak semua penjarahan lahir dari protes politik. Banyak yang murni oportunisme. Motif ekonominya sederhana dan pragmatis.

Begitu hukum dan ketertiban ambruk, orang mengambil kesempatan. Ada yang mengejar barang mewah, ada yang memburu kebutuhan. Batas antara protes dan kriminalitas mudah sekali saling menyeberang.

Ada pula penjarahan yang berjalan dengan restu diam-diam. Kerusuhan 1998 di Indonesia jadi contoh. Arah amuk massa bergeser ke etnis Tionghoa. Aparat keamanan pasif (Jurnal Heuristik).

Indikasi provokator terorganisir kuat terasa. Kekerasan dimanipulasi elite politik yang sedang berebut kuasa di dalam. Sudut pandang ini menaruh tanggung jawab pada negara.

Kisah lain muncul saat Revolusi Mesir 2011. Museum Mesir di dekat Tahrir Square dibobol. Dua mumi dilaporkan hancur (Museum Mesir).

Massa juga merangsek ke kantor SSI (Tempo.co), badan intelijen keamanan negara. Mereka memburu dokumen, bukan harta.

Dokumen-dokumen itu membuka praktik korupsi rezim. Kecurigaan adanya polisi berpakaian preman menguat.

Tujuannya diduga untuk menciptakan kekacauan di jalan. Penjarahan, dalam kasus seperti ini, bisa digerakkan kekuatan yang tak tampak.

Ada momen ketika sasarannya bukan barang, melainkan simbol. Sri Lanka pada Juli 2022 misalnya. Warga yang muak menduduki Istana Kepresidenan. Mereka berenang di kolam, bahkan tidur di kamar mewah presiden (Kompas.com).

Mereka tidak mencuri. Ini sering disebut penjarahan sosial yang bersifat simbolik. Pesan utamanya: kemewahan rezim itu dibayar dari uang publik. Aksi simbolik itu tak terbendung. Presiden Rajapaksa akhirnya mundur.

Bandingkan dengan Bangladesh pada 2024. Kekerasan di sana bernada retributif, muncul setelah jatuhnya Sheikh Hasina. Ini balasan brutal atas represi yang lama (International IDEA).

Massa memburu pejabat dan polisi. Museum Memorial Bangabandhu dihancurkan, sebuah simbol dinasti penguasa. Penjarahan di sini berubah menjadi hukuman mematikan. Hukum runtuh total di Bangladesh.

Kalau ditarik garis besar, penjarahan adalah cermin kegagalan negara. Ia menandai sistem yang kolaps.

Kekacauan itu membawa pesan yang jelas: masyarakat sudah sampai di titik jenuh.

Ketika hukum menghilang, ruang terbuka bagi perebutan makna kekuasaan. Kadang hadir sebagai simbol, kadang sekadar kesempatan. Sering kali, keduanya berjalan bersama.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun