Kebijakan segregasi rasial bukan cuma aturan, melainkan alat kontrol. Ia dipakai sebagai alat politik. Pemerintah kolonial Belanda menerapkannya terutama di kota-kota untuk mengawasi gerak masyarakat jajahan (Tirto.id, 2023).
Tapi motif di baliknya tidak sesederhana itu. Pengawasan hanya salah satu alasan. Ada faktor yang lebih mendasar, yakni kepentingan ekonomi kolonial. Nilainya besar sekali.
Bandung memberi contoh yang lain. Pemisahan ras ada, tetapi coraknya berbeda. Di sana kebijakannya tidak seketat kota-kota pesisir utara Jawa, seperti Semarang atau Batavia (Kompas.id, 2022).
Semarang punya kawasan pecinan yang sangat padat, batasnya tegas dan homogen. Kebijakan pemusatan itu lahir sebagai reaksi langsung VOC setelah Geger Pacinan pada 1740 sampai 1741.Sejak saat itu VOC berusaha memusatkan komunitas Tionghoa agar lebih mudah diawasi dan untuk mencegah pemberontakan serupa di kemudian hari (National Geographic Grid, 2022).
Lalu kenapa Bandung diperlakukan berbeda? Kuncinya ada pada sejarah pertumbuhan kota ini. Bandung bukan kota pelabuhan tua. Ia juga bukan gerbang utama ekonomi.
Lonjakan perkembangannya baru terjadi belakangan, ketika Bandung menjadi pusat administrasi dan perkebunan.
Dari situ, dinamika sosialnya terbentuk dengan cara yang khas. Pola tata kotanya pun berkembang secara berbeda (Jurnal Sosial Politik Unpar, 2020).
Jadi, pemisahan wilayah tidak semata soal keamanan. Dorongan ekonominya kuat. Komunitas Tionghoa dikenal piawai berdagang, maka mereka ditempatkan di pusat-pusat niaga, misalnya di sekitar Pasar Baru.
Pemerintah kolonial diuntungkan. Pemantauan jadi lebih mudah, pengaturan lebih rapih, dan pajak bisa ditarik dari setiap kegiatan ekonomi. Pada akhirnya, segregasi berfungsi sebagai strategi efisiensi ekonomi yang dibungkus alasan keamanan.
Meski begitu, komunitas ini bukan korban pasif. Ada inisiatif dari dalam, salah satunya pendirian THHK yang membuka sekolah pada 1904 (Repository Universitas Sanata Dharma).
Kehadiran etnis Arab juga diatur ketat. Pemerintah kolonial sangat khawatir terhadap penyebaran gagasan Pan-Islamisme yang dianggap bisa memicu perlawanan besar (Indonesia-Dutch History).