Gerakan melawan pajak terdengar gagah, terutama saat orang sedang marah. Kemarahan itu muncul ketika kebijakan terasa timpang. Bebannya seolah ditaruh di pundak banyak orang, sementara kelompok elite nyaris tak tersentuh.
Dari sinilah ide berhenti bayar pajak muncul sebagai cara melawan. Cara menunjukkan kekuatan rakyat pada negara yang dianggap tidak berpihak.
Tapi gagasan ini mesti ditimbang matang. Mengajak orang berhenti bayar pajak bukan tanpa harga. Risikonya besar. Kita sering melihat contoh dari luar, dari gerakan antipajak di Amerika sampai Eropa.
Sejarah kita juga mengenal perlawanan pajak pada masa kolonial. Pertanyaannya, apakah konteksnya sama dengan sekarang?Â
Jelas berbeda. Dulu musuhnya penjajah asing. Sekarang pemerintah dipilih lewat pemilu.Â
Jadi bukan soal melawan penguasa asing, melainkan membenahi sistem yang kita bangun sendiri.Pajak itu darah bagi negara. Tanpa pajak, fungsi dasar negara macet. Ini bukan kiasan, ini fakta finansial.
Uang pajak membiayai jalan, perawatan jembatan, dan infrastruktur lain. Pajak juga menutup biaya sekolah negeri dan banyak rumah sakit umum. Dari sana gaji guru, dokter, polisi, dan tentara dibayar.
Kontribusi pajak ke APBN pun dominan menurut Direktorat Jenderal Pajak. Dengan kata lain, mayoritas roda operasional negara berputar karena pajak.
Kalau negara lumpuh, siapa yang paling kena getahnya? Bukan orang super kaya. Mereka bisa ke rumah sakit swasta dan menyekolahkan anak ke luar negeri. Yang paling terpukul adalah rakyat biasa yang bergantung pada layanan publik.
Sekolah gratis bisa lenyap. Bantuan kesehatan pemerintah ikut hilang. Ibarat membakar lumbung padi untuk mengusir seekor tikus. Tikusnya mungkin kabur, tapi kita semua kelaparan. Niat awal membela rakyat kecil malah berubah jadi bumerang.
Mungkin akar persoalannya bukan pajaknya, melainkan rasa ketidakadilan dalam sistem. Kemarahan publik sering dipantik kebijakan yang terasa kontras. Di satu sisi, PPN akan naik menjadi 12 persen pada 2025 (CNBC Indonesia, 2024).
Di sisi lain, ada fasilitas pajak untuk korporasi besar. Kepercayaan publik makin tergerus oleh kasus korupsi yang berulang dan melelahkan (Kompas, 2023).
Karena itu, gerakan antipajak bersifat destruktif. Energi yang sama bisa diarahkan ke gerakan pro-keadilan pajak. Bukan lagi menyerukan stop bayar pajak, melainkan kami mau bayar pajak asalkan sistemnya adil dan transparan.
Tuntutan seperti ini lebih membangun. Sulit dibungkam dan sulit dicap anarkis. Pesannya jelas: tindak tegas pengemplang pajak, awasi penggunaan anggaran secara ketat, dan bangun tata kelola yang berpihak pada keadilan sosial.
Pada akhirnya, kemarahan publik itu wajar dan perlu didengar. Ia sinyal penting bahwa ada yang tidak beres. Namun merusak sumber penerimaan negara bukan jawabannya.
Jalan yang lebih bijak adalah merebut kembali kendali atas negara agar setiap rupiah pajak benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan segelintir elite.
Perjuangan ini bukan untuk melemahkan negara, tetapi untuk memastikan negara bekerja sebagaimana mestinya.
***
Referensi:
- CNBC Indonesia. (2024, 15 Maret). Sah! PPN Resmi Naik Jadi 12% di 2025, Ini Kata Pemerintah. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20240315153303-4-522198/sah-ppn-resmi-naik-jadi-12-di-2025-ini-kata-pemerintah
- Direktorat Jenderal Pajak. (n.d.). Fungsi Pajak. Diakses dari https://www.pajak.go.id/id/fungsi-pajak
- Kompas. (2023, 2 Maret). Saat Korupsi Pejabat Pajak Menggerus Kepercayaan Publik. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2023/03/02/06283121/saat-korupsi-pejabat-pajak-menggerus-kepercayaan-publik
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI