Awal abad ke-20, Jawa diliputi rasa putus asa. Kemiskinan mencengkeram petani. Tanah dan mata pencarian mereka lepas satu per satu.
Sistem kolonial timpang. Lonjakan penduduk dan kebijakan agraria justru menyudutkan mereka. Menyingkirkan orang dari sumber hidupnya.
Untuk bertahan, sebagian memilih jalan yang tersisa. Yakni migrasi.
Pemerintah kolonial Belanda melihat celah ini. Tenaga kerja murah digerakkan untuk perkebunan di luar Jawa.
Nama Suriname cepat mencuat sebagai tujuan. Cerita tentang negeri jauh itu beredar luas. Ada kabar sukses. Ada pula kisah nestapa.
Bagi petani Kedu, Suriname bukan nama asing. Hanya terlalu jauh untuk dibuktikan. Ketidakpastian malah membuatnya mengundang.Perekrut memanfaatkan celah ini. Janji upah tinggi dilontarkan. Hidup yang lebih baik dijajakan. Kenyataannya berbalik arah.
Kisah Jaringao adalah contohnya. Begitu jelas terlihat mekanisme eksploitasi bekerja.
Ratusan keluarga Jawa ditipu. Mereka dibawa ke Sukabumi. Bukan ke Suriname seperti yang dibayangkan.
Peristiwa ini memperlihatkan betapa mudahnya pekerja dikelabui. Akses informasi nyaris tidak ada.
Banyak yang buta huruf. Mereka menandatangani kontrak yang tak dipahami. Semua ini disangga payung hukum kolonial. Koeli Ordonantie dan Poenale Sanctie.
Para perekrut swasta, dikenal sebagai wereks. Memang bergerak di lapangan. Tetapi mereka bukan satu-satunya aktor.