Mereka adalah generasi muda masa kini. Gerbang mereka bukanlah cerita turun-temurun. Gerbang mereka adalah linimasa media sosial.
Sebuah video tren di TikTok jadi pemicunya. Juga unggahan foto estetik di Instagram. Hal itu diulas (Good News From Indonesia, 2023).
Rasa penasaran menarik mereka untuk datang. Mereka ingin merasakan pengalaman budaya unik. Mereka ingin menjadi bagian keramaian masif. Ribuan warga dilaporkan mengikuti prosesi ini. Mereka tumpah ruah setiap tahunnya (ANTARA News, 2023).
Kehadiran mereka tentu bukanlah hal yang salah. Justru sebaliknya, ini adalah pertanda baik. Tradisi jadi tidak akan pernah mati. Tradisi tidak ditinggalkan oleh perubahan zaman.
Anak muda menunjukkan minat yang besar. Mereka mau datang melihat warisan budayanya. Akan tetapi, fenomena ini memunculkan pertanyaan. Pertanyaan baru yang sifatnya sangat kompleks.
Apakah motivasi mereka selaras esensi ritual? Apakah pengalaman batin yang mereka cari? Ataukah hanya sekadar mencari konten visual?
Batas antara peserta ritual menjadi tipis. Juga batas dengan penonton yang penasaran.
Ketika tradisi menjadi populer dan mudah diakses. Ia berisiko kehilangan ruh sejatinya.
Kekhusyukan bisa tergantikan kilatan kamera ponsel. Keheningan yang sakral bisa saja pecah. Oleh keinginan mengabadikan sebuah momen.
Lalu menampilkannya di dunia maya. Inilah tantangan terbesar di era digital. Yaitu menjaga agar maknanya tidak dangkal.
Mubeng Beteng bukan sekadar jalan-jalan malam. Bukan juga sebuah festival budaya tahunan. Ia adalah laku prihatin yang mendalam. Sebuah proses introspeksi diri (Kompas.com, 2023).