Kepergian Titiek Puspa meninggalkan duka mendalam. Duka ini untuk musik Indonesia. Ia adalah sosok yang sangat besar. Ia dikenang sebagai seorang diva legendaris.Â
Gelar "Diva Tiga Zaman" disematkan padanya. Gelar itu merujuk karier panjangnya. Kariernya melintasi berbagai era (Wikipedia, n.d.).Â
Namun kita perlu menghargai warisannya. Kita perlu melihatnya lebih dalam. Kita harus melampaui citra panggungnya. Kita harus melihatnya sebagai manusia utuh. Ini akan memperkuat kekaguman kita. Kekaguman atas semua perjuangannya.
Gelar "Diva Tiga Zaman" terdengar megah. Di masa Sukarno, namanya bersinar terang.Â
Di masa Soeharto juga begitu. Semua lagunya mengudara di mana-mana. Ia menjadi ikon musik pop. Namun dominasinya di reformasi berbeda.Â
Bentuk dominasinya tentu sangat berbeda. Aktivitasnya lebih banyak penampilan istimewa. Ia juga berperan di layar lebar. Ia menerima banyak penghargaan pengabdian (Wikipedia, n.d.).Â
Ini semua tidak mengurangi kebesarannya. Ini hanya memberikan pemahaman baru. Label itu ternyata lebih bersifat simbolis. Itu untuk menghormati karier panjangnya. Bukan tentang dominasi pasar konstan.
Banyak orang menggambarkannya sosok rendah hati. Ia disebut berkarya dari nurani. Namun gambaran itu terasa kurang lengkap.Â
Gambaran sosoknya tanpa ambisi keliru. Sebab bertahan di puncak butuh ambisi. Ia bertahan selama puluhan tahun. Ia tidak hanya butuh bakat saja.Â
Ia juga memerlukan kerja keras. Ia butuh mental baja juga. Tentu saja ia memerlukan ambisi. Ambisi menciptakan karya yang relevan. Ambisi menyentuh hati para pendengar. Ambisi itu adalah bahan bakarnya. Itu yang membuatnya terus bersinar.
Kisah hidupnya lekat dengan politik. Konteks politik zamannya sangat kuat. Keterlibatannya dengan Orde Baru fakta. Ini adalah sebuah fakta sejarah.Â