Ini bukan strategi jangka panjang. Strategi yang berkelanjutan. Melainkan reaksi reaktif. Reaksi terhadap perilaku adidaya. Perilaku yang tidak konvensional.
Ilusi Kompetitif di Tengah Tekanan
Penurunan tarif AS dari 32 persen. Menjadi 19 persen. Ini digambarkan sebagai "pencapaian besar." Memberikan Indonesia "posisi kompetitif lebih baik." Mari kita teliti klaim ini. Dengan kacamata skeptisisme.
Pertama-tama, tarif 32 persen itu sangat memberatkan. Angka itu tidak berdasar secara ekonomi. Itu adalah sebuah alat tekan. Bukan refleksi nilai pasar yang adil.Â
Menurunkan tarif dari angka sangat tinggi. Menjadi "hanya" tinggi (19 persen). Memang terdengar seperti perbaikan.Â
Namun, apakah 19 persen itu benar-benar kompetitif?
Di pasar global yang terfragmentasi. Di mana banyak negara lain menikmati akses pasar. Akses yang jauh lebih baik. Misalnya, tarif nol persen. Dalam kesepakatan bilateral atau multilateral.
Indonesia masih jauh dari posisi level playing field. Vietnam, misalnya, mendapat penurunan tarif. Turun ke 20 persen (bukan 19 persen). Dengan syarat ketat terkait transshipment.Â
Tarif bisa naik menjadi 40 persen. Jika ada indikasi pengalihan perdagangan. Pengalihan dari negara ketiga (Politico, 2025; CNBC, 2025).Â
Apakah ada syarat-syarat serupa? Atau konsesi lain yang tidak terungkap? Yang harus dibayar Indonesia untuk tarif 19 persen?Â
Jika ini harga yang harus dibayar. Untuk menghindari malapetaka. Malapetaka yang lebih besar (PHK massal). Maka ini lebih tepat disebut pengurangan kerugian.Â
Bukan disebut "pencapaian besar." Ini adalah hasil negosiasi. Tapi dari posisi yang tertekan. Bukan dari posisi tawar yang kuat.