Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Bukan Malas Nabung, Soft Saving Adalah Kalkulasi Logis Gen Z

22 Juni 2025   19:00 Diperbarui: 23 Juni 2025   10:31 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di antara tekanan cicilan dan godaan check-out keranjang belanja, ada sebuah dilema sunyi yang menghantui generasi muda. Ini adalah kisah tentang salah satu dari mereka, dan mungkin juga Anda.

Layar ponsel Niko menyala terang. Notifikasi gajian masuk. Angkanya sama seperti bulan lalu. Cukup. Tapi selalu terasa kurang.

Niko membuka galeri hapenya. Sebuah poster konser musik elektronik. Suara bassnya seolah berdentum dari gambar. Tiket paling murah delapan ratus ribu.

Ilustrasi anak muda mengatur keuangan, gen Z menabung dana darurat. (SHUTTERSTOCK/PRATHANKARNPAP via KOMPAS.COM)
Ilustrasi anak muda mengatur keuangan, gen Z menabung dana darurat. (SHUTTERSTOCK/PRATHANKARNPAP via KOMPAS.COM)
Jari-jarinya sudah hafal letak tombol 'Beli'. Aroma keringat dan parfum murah di arena konser sudah terbayang. Tiba-tiba, notifikasi lain muncul di atas layar. Ikon merah kalender.

'Bayar Kos Tanggal 28'. Kepalanya langsung pening. Menghitung cepat sisa uang. Untuk makan. Transportasi. Kirim sedikit untuk Ibu.

Ia membuka folder 'Rumah Impian'. Gambar rumah mungil bergaya Skandinavia. Lalu ia membuka tangkapan layar simulasi KPR. Deretan angka cicilan membuatnya mual.

Jarak antara gajinya dan angka itu terasa seperti Bumi ke Mars.

Napasnya tercekat. Ia kembali ke aplikasi tiket. Jarinya yang hiperhidrosis melayang satu sentimeter. Di atas tombol 'Bayar Sekarang'.

Tiba-tiba ponselnya bergetar hebat. Dering panggilan dari Rian. Nama temannya itu muncul di layar. Menawarkan dua pilihan. 'Jawab' atau 'Tolak'.

Niko membeku. Ini bukan lagi soal uang. Ini soal hidup untuk siapa. Dan untuk kapan.

---

Dilema Niko bukan sekadar kegalauan pribadi. Dilema ini adalah gambaran fenomena global bernama soft saving. Bukan soal gagal menabung. Tapi strategi bertahan hidup finansial yang diadopsi oleh Generasi Z.

Gen Z dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi. Generasi ini secara sadar menolak konsep menabung agresif, karena mengorbankan kualitas hidup saat ini (FWD Insurance, 2025).

Biaya hidup jadi kekhawatiran utama bagi 34% Gen Z di seluruh dunia. Mengalahkan isu lainnya (Deloitte, 2024). Tekanan ini nyata. Membuat hampir separuh dari mereka (46%) merasa cemas. Atau hampir stres sepanjang waktu.

Akibatnya, tujuan finansial ideal. Seperti yang diajarkan orang tua dulu. Macam beli rumah rasanya makin mustahil.

Di Inggris, 78% Gen Z pesimis dengan kemampuan mereka membeli rumah (NatCen, 2024). Di Indonesia, dengan mayoritas Gen Z berpendapatan di bawah Rp 2,5 juta per bulan. Tantangannya serupa (IDN Research Institute, 2024).

Kondisi ini melahirkan pergeseran prioritas. Daripada menumpuk dana untuk masa depan yang tidak pasti. Gen Z lebih pilih mengalokasikan uang. 

Untuk hal-hal yang dapat meningkatkan kesehatan mental dan kebahagiaan jangka pendek. Banter disebut healing.

Ini adalah inti dari quiet thriving. Atau bertumbuh dalam diam. Sebuah penolakan terhadap hustle culture. Serta sebuah pernyataan.

Bahwa kesehatan emosional adalah aset. Yang sama berharganya dengan aset finansial.

Bagi Gen Z, kekayaan tidak lagi diukur dari saldo di masa depan. Tapi dari kedamaian mental yang bisa dibeli hari ini.

Mereka tidak menyerah pada masa depan. Mereka hanya melihatnya lebih realistis dan manusiawi. Pendekatannya adalah konsistensi dalam jumlah kecil. Misalnya menyisihkan Rp 10.000 per hari. Sambil tetap memberi ruang untuk menikmati hidup.

Fenomena ini bukan lagi sekadar data. Ia adalah dilema nyata. Yang terjadi dalam kepala jutaan anak muda seperti Niko.

Pikirannya tak lagi kalut. Jemarinya yang tadi membeku kini bergerak lincah. Dia tidak menekan tombol 'Bayar Sekarang' di aplikasi konser. Pun tak menutupnya.

Niko beralih ke aplikasi notes. Sebuah halaman kosong. Dia mengetik tiga baris kalimat.

  • Budget Nonton Konser: Rp 400.000
  • Budget Healing Lain: Rp 400.000
  • Mulai Investasi Reksadana: Rp 100.000/bulan

Ini adalah rencananya. Pilihannya. Dia akan mencari tiket dari tangan kedua. Atau pergi di hari yang lebih sepi.

Sisa uangnya ia alokasikan untuk pengalaman kecil lain. Kopi enak di akhir pekan. Mungkin buku baru. Dan ia memulai langkah kecil yang nyata untuk masa depan. Langkah yang tidak mencekiknya.

Niko akhirnya mengangkat telepon temannya.

"Gue ikut," katanya. Suaranya mantap.

"Tapi kita cari tiket yang lebih murah, ya. Sisanya buat modal ngopi sebulan." Dia tersenyum kecil.

Untuk pertama kalinya, keputusan soal uang terasa seperti sebuah kemenangan, bukan pengorbanan.

Perang antara 'healing' hari ini dan dana pensiun esok adalah sebuah ilusi. Lawan sesungguhnya adalah kecemasan yang lahir dari pilihan tanpa sadar.

Ilustrasi Niko mengajarkan bahwa kemakmuran sejati. Bukan tentang seberapa banyak yang kita kumpulkan. Melainkan seberapa sengaja kita mengalokasikannya.

Setiap rupiah adalah alat untuk membangun kehidupan yang kita inginkan. Bukan sekadar untuk bertahan hidup.

Maka, tantangannya bukan lagi, cukup atau tidak?. Mari ubah pertanyaannya menjadi, "Bagaimana saya merancang definisi kaya dan sehat emosional versi saya sendiri?".

Dengan mengambil kendali penuh atas narasi keuangan kita. Sekecil apa pun itu. Kita merebut kembali kekuatan dari ketidakpastian. Karena kemerdekaan finansial paling nyata. Dimulai dari keputusan-keputusan kecil. Yang berpihak pada kedamaian diri kita hari ini.

Sebab pada akhirnya, masa depan yang paling berharga. Adalah masa depan di mana kita tidak kehilangan diri kita di masa kini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun